KOMPETENSI GURU SMA ISLAM ASSYAFI’IYAH 02 JATIWARINGIN

A. PENDAHULUAN
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah melalui Departemen pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) khususnya terus melakukan berbagai upaya perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia.
Kompetensi guru merupakan kebutuhan yang amat mendasar dalam upaya mewujudkan pengelolaan pendidikan yang bermutu. Dalam proses belajar mengajar di SMA, guru memegang peranan yang sangat penting dan sangat menentukan prestasi belajar para siswanya. Kemajuan teknologi yang pada saat ini telah merambah ke berbagai sekolah tidak akan pernah bisa menggantikan guru secara utuh, karena ada peran-peran tertentu yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.
Maka dari itu, penulis akan membahas aspek guru dari sisi kompetensi yang harus dimiliki guru khususnya di sekolah SMA Islam Assyafi’iyah 02 Jatiwaringin. Dan pembahasan ini belum ada yang menyinggung tentang kompetensi guru dalam mata kuliah Perkembangan Kontemporer Pesantren dan Madrasah ini.

B. PEMBAHASAN
1. Kompetensi Guru
Menurut Muhibbin Syah, “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhui syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Muhibbin Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.
Guru sebagai pendidik ataupun sebagai pengajar merupakan faktor penentu keberhasilan pendidikan di sekolah. Tugas guru yang utama adalah memberikan pengetahuan (cognitive), sikap/nilai (affective), dan keterampilan (psychometer) kepada anak didik. Tugas guru di lapangan pengajaran berperanan juga sebagai pembimbing proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian tugas dan peranan guru adalah mengajar dan mendidik.
Adlan mengemukakan bahwa dalam menjalankan kewenangan profesionalnya, kompetensi guru dibagi dalam tiga bagian yaitu: (1) kompetensi kognitif, yaitu kemampuan dalam bidang intelektual, seperti pengetahuan tentang belajar mengajar, dan tingkah laku individu, (2) Kompetensi afektif, yaitu kesiapan dan kemampuan guru dalam berbagai hal yang berkaitan dengan tugas profesinya, seperti menghargai pekerjaannya, mencintai mata pelajaran yang dibinanya, dan (3) kompetensi perilaku, yaitu kemampuan dalam berperilaku, seperti membimbing dan menilai.
Sedangkan Sudjana mengemukakan empat kompetensi guru; (1) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (3) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinanya, dan (4) mempunyai keterampilan teknik mengajar.
Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan.
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
a. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
b. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
c. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, yaitu :
a. Kompetensi pedagogik, yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b. Kompetensi kepribadian, yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
c. Kompetensi sosial, yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
d. Kompetensi profesional, merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
a. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
b. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
c. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
d. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
e. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Di samping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
2. SMA Islam Assyafi’iyah 02 Jatiwaringin
a. Profil Sekolah
SMA Islam Assyafi’iyah 02 yang terletak di daerah Jatiwaringin Pondok Gede Bekasi seluas + 4000 m2, merupakan salah satu lembaga dari banyaknya lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh KH. Abdullah Syafi’i . Beliau mendirikan lembaga SMA Islam Assyafi’iyah 02 ini pada tahun 1976 di lingkungan Pesantren Putra Assyafi’iyah untuk siswa/siswi non santri.
Sejak didirikan sampai sekarang, sekolah tersebut dipimpin oleh empat kepala sekolah. Yang pertama (alm.) Nashori (1976-1982), yang kedua Supardi (1982-2004), yang ketiga Kiagus Ahmad Haidar (2004-2007), dan yang keempat Adit Rahwandi (2007-sekarang).
Di bawah kepemimpinan Adit Rahwandi, sekolah ini mulai belajar pada jam 07.00 sampai dengan 15.05 wib selama 5 hari yaitu senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan 1 hari khusus kegiatan ekstra kurikuler yaitu hari sabtu terdiri dari kegiatan :
a. olah raga (basket, futsal)
b. bahasa arab
c. bahasa mandarin
d. bahasa jepang
e. bahasa inggris
f. marawis
g. group band
h. pencinta alam
i. pendalaman al-qur'an
j. teater/seni
b. Keadaan Siswa SMA Islam Assyafi’iyah 02 Jatiwaringin
Jumlah siswa SMA Islam Assyafi’iyah 02 Jatiwaringin dalam tiga tahun terakhir sebagai berikut:
No. Tahun Ajaran Jumlah Siswa
1. 2006/2007 375
2. 2007/2008 350
3. 2008/2009 350
Adapun prosentase siswa yang lulus mengikuti Ujian Akhir Nasional dalam tiga tahun terakhir sebagai berikut :
No. Tahun Ajaran Jumlah Siswa
1. 2005/2006 100 %
2. 2006/2007 100 %
3. 2007/2008 32 %

Struktur Organisasi SMA Islam Assyafi’iyah 02 Jatiwaringin
Kepala sekolah : Drs. Adit Rahwandi
Wakabid. Kesiswaan : Dra. Hj. Rahmah
Wakabid. Kurikulum : Drs. Rubimin
Kepala Tata Usaha : Hanafi Sukanta
BP : Dra. Mas’udah
Nurjanati, S.Pd
Wali Kelas
Kelas X.1 : Saparin, S.Pd
Kelas X.2 : Keuis Teni, S.Pd
Kelas X.3 : Nurhajjah, S.Pd
Kelas XI IPA 1 : Fadlan Jani, ST
Kelas XI IPA 2 : Hj. Humaidah, S.Ag
Kelas XI IPS 1 : Anshari Rohimi, S.Ag
Kelas XI IPS 2 : Ernilis, SH
Kelas XII IPA 1 : Drs. H. Asmat Abu Hasan
Kelas XII IPA 2 : Rahmat Amin, S.Pd
Kelas XII IPS 1 : Dra. Risnawati
Kelas XII IPS 2 : Dra. Susilowati
3. Kompetensi Guru SMA Islam Assyafi’iyah 02
Penulis telah melakukan observasi melalui pengumpulan kuesioner dengan data kualitatif. Penulis melakukan uji kompetensi kepada 31 guru SMA Islam Assyafi’iyah 02 Jatiwaringin sebanyak 70 soal (terlampir) dengan memakai ukuran standar Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, dengan bobot masing-masing soal sebagai berikut: Kompetensi Pedagogik 28 soal (40%), Kompetensi Kepribadian 9 soal (13%), Kompetensi Sosial 13 soal (18,5%), dan Kompetensi Profesional 20 soal (28,5%).
Penulis menemukan bahwa kompetensi guru SMA Islam Assyafi’iyah 02 dominannya adalah kompetensi kepribadian (dengan menjawab 7-9 soal yang benar) dan kompetensi sosial (dengan menjawab 10-13 soal yang benar). Sedangkan kompetensi pedagogik (dengan menjawab 12-28 soal yang benar) dan kompetensi profesional (dengan menjawab 11-16 soal yang benar) masih kurang. Dari jumlah guru keseluruhan berjumlah 31 orang, hanya 6 orang yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran dan evaluasi yang terdapat dalam kompetensi pedagogik. Itu pun karena barangkali mereka adalah guru negeri atau yang telah melakukan pendidikan dan pelatihan.
Adapun data dari koresponden dapat dilihat melalui tabel berikut :
Koresponden Jumlah soal yang dijawab benar oleh Koresponden Total soal yang dijawab benar
KP KK KS Kpro
1 19 8 13 15 55
2 18 7 13 14 52
3 28 8 13 16 65
4 18 8 11 13 50
5 17 8 12 13 50
6 16 8 12 14 50
7 16 7 11 14 48
8 27 7 10 14 58
9 18 7 11 15 51
10 18 7 11 16 52
11 17 7 12 14 50
12 17 7 12 14 50
13 15 7 12 14 48
14 17 7 12 14 50
15 28 8 11 12 59
16 15 8 11 14 48
17 15 8 11 12 46
18 14 8 11 12 45
19 14 8 10 11 43
20 15 9 10 14 48
21 28 9 10 14 61
22 14 9 13 14 50
23 27 9 13 13 62
24 14 9 13 13 49
25 14 9 12 13 48
26 14 9 12 13 48
27 27 9 12 12 60
28 13 8 10 15 46
29 13 8 11 12 44
30 12 7 11 14 44
31 12 7 10 14 43
Catatan :

KP = Kompetensi Pedagogik KK = Kompetensi Kepribadian
KS = Kompetensi Sosial KPro = Kompetensi Profesional
Penulis juga menemukan ada 3 orang guru mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya. Yaitu sarjana (S1) Tehnik mengajar Olahraga, sarjana (S1) Biologi mengajar Matematika, dan sarjana (S1) Matematika mengajar Kesenian.
Melalui uji kompetensi ini, penulis telah memberikan saran kepada kepala sekolah, bahwa diperlukannya pelatihan untuk guru-guru SMA Islam Assyafi’iyah 02 dengan mengikuti standar yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional.

C. KESIMPULAN
Sekolah sebagai institusi pendidikan membutuhkan guru yang tidak hanya berfungsi sebagai pengajar yang mengajarkan mata pelajaran tertentu kepada peserta didiknya tetapi juga sebagai pendidik yang memberikan bekal pengetahuan kepada siswanya mengenai etika, kemampuan untuk survive dalam hidup, moral, empati, dan sebagainya.
Uji kompetensi guru sangat diperlukan yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana guru menjalankan perannya sebagai pengajar sekaligus pendidik adalah salah satu faktor penting yang perlu dilakukan. Namun hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah sejauh mana hasil uji komptensi ini akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses belajar mengajar di sekolah serta output yang dihasilkan, dalam hal ini peningkatan kualitas kemampuan siswa dalam mata pelajaran yang diajarkan. Apakah siswa yang menjadi subjek utama dalam pendidikan dapat merasakan langsung pengaruh dari hasil uji kompetensi tersebut atau tidak.
Jika uji kompetensi dilakukan untuk mengetahui kemampuan guru yang bersangkutan, maka saya kira hasil uji kompetensi tersebut tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan jika tidak diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang terjadi di dalam ruang kelas sebagai tempat terjadinya proses belajar mengajar. Terlebih lagi, kebanyakan evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi pada saat suatu proses belajar mengajar telah selesai. Misalnya, jumlah siswa yang lulus ujian, nilai kelulusan siswa, siswa yang berhasil lanjut ke pendidikan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa evaluasi tersebut adalah penting, namun dalam suatu proses belajar mengajar yang berlangsung terus menerus, adalah penting untuk melakukan evaluasi pada saat proses belajar mengajar masih berlangsung. Diharapkan melalui evaluasi tersebut, guru dapat menggunakan metode yang terbaik untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Siswa juga diharapkan dapat memberikan feedback positif kepada guru karena merekalah yang berinteraksi langsung dengan guru dan merasakan pengaruhnya terhadap kemampuan belajar mereka.

Sumber Bacaan :
Adlan, Aidin. Hubungan Sikap Guru Terhadap Matematika dan Motivasi. Berprestasi dengan Kinerja. Matahari No.1, 2000
Idris, Zahara. Dasa-Dasar Kependidikan. Padang: Angkasa Raya, 1981
NBPTS, What Teachers Should Know and Be Able to Do, www.nbpts.org (diakses tanggal 24 Desember 2008)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, www.puskur.net (diakses tanggal 24 Desember 2008)
Sudjana, Nana. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru, 1989
Sudrajat, Akhmad. Kompetensi Guru Dan Peran Kepala Sekolah, Ahkmad Sudrajat. Worpress.com (diakses tanggal 24 Desember 2008)
Suyanto dan Djihad Hisyam. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita, 2000
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000
www. assajjad.wordpress.com (diakses tanggal 24 Desember 2008)







Lampiran
UJI KOMPETENSI GURU


Petunjuk :
Pilih salah satu jawaban yang paling tepat dengan beri tanda silang (X) pada A, B, C, D, E

1. Upacara setiap hari Senin termasuk pembiasaan ...
a. Rutin b. Spontan c. Keteladanan d. Terprogram e. Biasa

2. Memperingati hari-hari besar nasional dan hari-hari besar agama termasuk pembiasaan ...
a. Rutin b. Spontan c. Keteladanan d. Terprogram e. Biasa

3. Cara belajar siswa belajar dari berbagai sumber informasi disebut ...
a. Learning to know b. Learning to do c. Learning to be
d. Learning to live together e. Learning to doing

4. Kecakapan berfikir rasional, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah termasuk ...
a. Personal life skill b. Sosial life skill c. Academic life skill
d. Vokasional life skill e. Technical skill

5. Merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel, menghubungkan variabel, merencanakan dan melakukan penelitian adalah unsur-unsur ...
a. Personal life skill b. Sosial life skill c. Academic life skill
d. Vokasional life skill e. Technical skill

6. Urutan unsur-unsur yang terdapat pada pengembangan silabus adalah sebagai berikut ...
a. Materi pokok, kompetensi dasar, pengalaman belajar, waktu, indikator, sumber pembelajaran
b. Pengalaman belajar, kompetensi dasar, indikator, waktu, sumber pembelajaran
c. Kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, waktu, sumber pembelajaran
d. Sumber pembelajaran, materi pokok, kompetensi dasar, pengalaman belajar, waktu, indikator
e. Pengalaman belajar, materi pokok, kompetensi dasar, waktu, indikator, sumber pembelajaran

7. Mengatasi masalah dalam bimbingan karier termasuk dalam fungsi ...
a. Pemahaman b. Pencegahan c. Pengentasan
d. Pemeliharaan e. Pendayagunaan

8. Siswa yang berhak mendapat pelayanan klinik mata pelajaran adalah siswa ...
a. Tertinggal b. Siswa Pandai c. Seluruh Siswa
d. Siswa Nakal e. Siswa Malas
9. Tujuan penilaian kelas yang dipergunakan sebagai penelusuran disebut ...
a. Waming Up b. Cheeking Up c. Finding Out
d. Keeping track e. Cheking out

10. Penilaian kelas yang dipergunakan untuk penyimpulan disebut ...
a. Waming Up b. Chek Out c. Finding out
d. Keeping track e. Saming Up

11. Pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas hal ini merupakan spesifikasi ...
a. Materi b. Kontruksi c. Bahasa
d. Pilihan ganda e. Essay

12. Soal harus sesuai dengan indikator termasuk kaidah ...
a. Materi b. Kontruksi c. Bahasa
d. Pilihan ganda e. Easy

13. Yang termasuk bentuk soal obyektif ...
a. Isian singkat b. Easey Struktur c. Uraian terbuka
d. Menjodohkan e. Pilihan Ganda

14. Guru yang bisa memisahkan antara marah, emosi lingkungan maka disebut dengan guru ...
a. Cerdas b. Genius c. Emosional d. Nasional e. Pandai

15 Pola pikir manusia atau guru akan berpengaruh terhadap ...
a. Sikap dan tingkah laku b. Sikap dan Pembuatan c. Ucapan dan tingkah laku
d. Sikap dan ucapan e. Perbuatan dan sikap

17. Yang membedakan manusia yang satu dengan yang lain terdapat pada ...
a. Fisik b. Pesikis c. Tingkah laku d. Cara fikir e. Ucapan

18. Beberapa cara penerimaan informasi melalui gerak disebut ...
a. Visual b. Auditorin c. Kinestik d. Olfactory e. Gusfactory

19. Pada saat ini masyarakat sudah sampai pada era ...
a. Industri, teknologi, globalisasi b. Komunikasi, Informasi dan teknologi
c. Industri, komunikasi, globalisasi d. Globalisasi, teknologi, informasi
e. Informasi, globalisasi, industri.

20. Dewan guru di era globalisasi bergeser menjadi ...
a. Knowledge Agent b. Learning Agent c. Genius Teaching
d. Teaching Agent e. Genius Agent

21. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang bercirikan sebagai berikut ...
a. Menghasilkan suatu aktifitas baru atau mengubah suatu aktifitas dengan perantaraan latihan baik di laboratorium maupun lingkungan alam
b. Kegiatan yang disengaja agar terjadi perubahan baik aktual maupun potensial sampai timbulnya kecakapan yang baru
c. Membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan dunia nyata siswa
d. Memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri dalam proses pembelajaran
e. Menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan mereka sehari-hari

22. Suatu penelitian dimana seorang peneliti terlibat langsung dalam proses penelitian sampai dengan hasil penelitian yang berupa laporan termasuk jenis penelitian ...
a. Diagnostik b. Partisipan c. Empiris d. Experimental e. Koperatif

23. Tahapan pelaksanaan dalam pelaksanaan tindakan kelas adalah ...
a. Perencanaan, Pelaksanaan, Refleksi, Pengamatan.
b. Perencanaan, Pelaksanaan, Pengamatan, Refleksi
c. Perencanaan, Refleksi, Pelaksanaan, Pengamatan.
d. Perencanaan, Pengamatan, Pelaksanaan, Refleksi
e. Refleksi, Perencanaan, Pengamatan, Pelaksanaan.

24. Manfaat pelaksanaan penelitian tindakan kelas dapat digunakan untuk ...
a. Diri sendiri b. Kepala Sekolah c. Yayasan d. Wali Kelas e. Orang Tua

25. Output dan outcome pendidikan terpenting yang mencerminkan kinerja sekolah adalah mutu ...
a. Pemberdayaan perpustakaan
b. Pencapaian target jam efektif
c. Proses persiapan pembelajaran
d. Penggunaan laboratorium
e. Hasil belajar siswa
26. Akhir dari langkah–langkah penyusunan RPP adalah ...
a. indikator kompetensi dasar b. materi pembelajaran c. tujuan pembelajaran
d. metodhe pembelajaran e. soal evaluasi dan kunci jawaban

27. Perilaku budaya bersih bisa terwujud pada peserta didik selain karena peserta didik memahami makna dan cara melakukannya, tetapi juga perlu didukung oleh lingkungan, yaitu ...
a. tersedia sapu lidi dan bak sampai b. tersedia air bersih dan selang air
c. tersedia sapu duk dan serok sampah d. adanya slogan–slogan dan pengawasan
e. tersedia alat–alat kebersihan dan keteladanan

28. Perbedaan kurikulum 1994 dan kurikulum KTSP ditinjau dari segi pendekatannya adalah berbasis...
a. Materi pembelajaran dan berbasis tujuan pembelajaran
b. Materi pembelajaran dan berbasis kompetensi
c. Kompetensi dan berbasis tujuan pembelajaran
d. Kompetensi dan berbasis proses pembelajaran
e. Kompetensi dan berbasis sekolah

29. Bentuk dari keteraturan sosial adalah ...
a. Kerjasama b. Kontak c. Konflik d. Ketentraman e. Kesesuaian

30. Pada hakikatnya manusia yang hidup di bumi ini mempunyai hubungan yang penting terhadap Tuhan YME, hubungan ini dikenal dengan ...
a. Horizontal b. Original c. Vertikal d. Spiritual e. Imaterial.

31. Contoh dalam bentuk organisasi profesi adalah ...
a. PRAMUKA b. PGRI c. MGMP d. PMR e. PASKIBRA
32. Keteraturan sosial sangat erat hubungannya dengan ... sosial
a. Komunikasi b. Ketentraman c. Hubungan d. Interaksi e. Keamanan

33. Agama mempunyai fungsi sosial, yaitu ...
a. Mengatur interaksi sosial
b. Menunjukkan ibadah terhadap Tuhan YME
c. Dapat mengendalikan hidup bermasyarakat
d. Menuntun masyarakat ke surga
e. Mengarahkan tatacara kemasyarakatan

34. Lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai ...
a. Pelapisan masyarakat b. Difusi sosial c. Komposisi sosial
d. Pranata sosial e. Kelompok sosial

35. Penetapan KKM yang paling tepat pada ...
a. pada akhir tahun pelajaran b. tengah semester
c. akhir semester d. awal tahun pelajaran
e. semester genap
36. Yang berhak menetapkan KKM adalah ...
a. Kepala sekolah b. Wakabid kurikulum c. Wakabid kesiswaan
d. Forum MGMP sekolah e. Guru mata pelajaran

37. Dasar kriteria penetapan KKM adalah ...
a. Kompleksitas, daya dukung, kerumitan b. Daya dukung, kesulitan, intake siswa
c. Intake siswa, kompleksitas, kerumitan d. Kompleksitas, daya dukung, intake siswa
e. Daya dukung, kesulitan, kerumitan
38. Mekanisme/langkah-langkah penetapan KKM adalah ...
a. KKM KD, KKM indikator, KKM SK, KKM MP
b. KKM MP, KKM SK, KKM indikator, KKM KD
c. KKM SK, KKM KD, KKM Indikator, KKM MP
d. KKM indikator, KKM SK, KKM KD, KKM MP
e. KKM Indikator, KKM KD, KKM SK, KKM MP
39. Jika indikator memiliki kriteria rendah, daya dukung tinggi, intake siswa sedang maka KKMnya adalah ...
a. 58,89 b. 68,89 c. 78,89 d. 88,89 e. 99,89
40. Permendiknas yang mengatur tentang standar Isi adalah nomor ...
a. 19 tahun 2005 b. 19 tahun 2006 c.22 tahun 2005
d. 22 tahun 2006 e. 23 tahun 2006
41. Permen yang mengatur tentang kompetensi kelulusan adalah nomor ...
a. 19 tahun 2005 b. 19 tahun 2006 c. 22 tahun 2005
d. 22 tahun 2006 e. 23 tahun 2006
42. Komponen KTSP adalah ...
a. Tujuan Pendidikan Sekolah, struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, silabus dan RPP
b. Tujuan Pendidikan Sekolah, struktur dan muatan lokal, kalender pendidikan, silabus dan RPP
c. Kecakapan hidup, struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, silabus dan RPP
d. Tujuan Pendidikan Sekolah, struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, standar kompetensi kelulusan dan RPP
e. Tujuan Pendidikan Sekolah, struktur dan muatan kurikulum, pengembangan diri, silabus dan RPP
43. KTSP dokumen 1 berisi ...
a. Bab I Pendahuluan, Bab II Tujuan Pendidikan, Bab III Mulok, Bab IV Kalender Pendidikan
b. Bab I Pendahuluan, Bab II Tujuan Pendidikan, Bab III Struktur dan muatan Kurikulum, Bab IV Kalender Pendidikan
c. Bab I Pendahuluan, Bab II Tujuan Pendidikan, Bab III Mulok, Bab IV Jadwal Pelajaran
d. Bab I Penentuan KKM, Bab II Tujuan Pendidikan, Bab III Mulok, Bab IV Kalender Pendidikan
e. Bab I Visi Misi Sekolah, Bab II Tujuan Pendidikan, Bab III Mulok, Bab IV Kalender Pendidikan
44. KTSP Dokumen II berisi ...
a. Silabus dan RPP dan Mulok, Mapel tambahan
b. Program Tahunan dan Program semseter
c. Mulok dan kecakapan hidup
d. Kecakapan hidup dan pengembangan diri
e. Pengembangan diri dan CTL
45. Yang termasuk bentuk bahan ajar dari bahan cetak adalah ...
a. Hand out b. Video c. Radio d. Foto e. CD
46. Bentuk bahan ajar yang berupa audio visual ...
a. Buku b. VCD c. CD d. Gambar e. Internet
47. Bentuk bahan ajar yang berupa Multi media adalah ...
a. Modul b. VCD c. Internet d. Maket e. Kaset.
48. Alur analisis penyusunan bahan ajar adalah ...
a. Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Indikator, Materi Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, Bahan Ajar
b. Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Indikator, Kegiatan Pembelajaran Materi Pembelajaran, , Bahan Ajar
c. Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Indikator, Materi Pembelajaran, Bahan Ajar, Kegiatan Pembelajaran.
d. Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pembelajaran, Indikator, , Kegiatan Pembelajaran, Bahan Ajar
e. Kompetensi Dasar, Standar Kompetensi, Indikator, Materi Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, Bahan Ajar

49. Kerangka Modul berisi ...
a. Halaman Sampul, Halaman Francis, Kata Pengantar, Daftar Isi, Peta Kedudukan Modul, Glosarium.
b. Halaman Sampul, Halaman Francis, Kata Pengantar, Daftar Isi, Glosarium, Peta Kedudukan Modul.
c. Halaman Francis, Halaman Sampul, Kata Pengantar, Daftar Isi, Peta Kedudukan Modul, Glosarium.
d. Halaman Sampul, Halaman Francis, Daftar Isi, Kata Pengantar, Peta Kedudukan Modul, Glosarium.
e. Halaman Sampul, Halaman Francis, Peta Kedudukan Modul Kata Pengantar, Daftar Isi, Glosarium.
50. Pendekatan Pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna ...
a. Project based learning b. Work based learning c. Service learning
d. Cooperative learning e. Inquiry based learning
51. Pendekatan pembelajaran yang meungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi ajar dan menggunakannya kembali di tempat kerja ...
a. Project based learning b. Work based learning c. Service learning
d. Cooperative learning e. Inquiry based learning
52. Komponen yang terdapat dalam penyusunan kisi-kisi pembuatan soal adalah ...
a. Identitas, SK/KD/IP, Materi Pembelajaran, Indikator Soal, Bentuk Soal, Nomor Soal,
b. Identitas, SK/KD/IP, Indikator Soal, Materi Pembelajaran, Bentuk Soal, Nomor Soal.
c. Identitas, SK/KD/IP, Materi Pembelajaran, Indikator Soal, Nomor Soal, Bentuk Soal.
d. SK/KD/IP, Identitas, Materi Pembelajaran, Indikator Soal, Bentuk Soal, Nomor Soal.
e. Nomor Soal, Identitas, SK/KD/IP, Materi Pembelajaran, Indikator Soal, Bentuk Soal.
53. Lakukan survey harga cabai di tiga pasar dalam waktu 1 minggu dan buatlah laporannya, termasuk jenis penilaian ...
a. Proyek. b. Unjuk kerja c. Wawancara d. Portofolio e. Observasi
54. Buatlah puisi tentang keindahan alam!, termasuk jenis penilaian ...
a. Proyek. b. Unjuk kerja c. Wawancara d. Portofolio e. Observasi
55. Hasil karya siswa yang terbaik termasuk jenis penilaian ...
a. Proyek. b. Unjuk kerja c. Wawancara d. Portofolio e. Observasi
56. Yang terdapat pada otak kiri manusia adalah ...
a. Logika, Bahasa, Matematika, Urutan b. Logika, Bahasa, Seni, Urutan
c. Bahasa, Logika, Budaya, Matematika d. Matematika, Seni, Urutan, Bahasa
e. Musik, Logika, Bahasa, Urutan
57. Yang terdapat pada otak kanan manusia adalah ...
a. Logika, Bahasa, Matematika, Urutan b. Logika, Bahasa, Seni, Urutan
c. Musik, gambar, warna, Imajinasi, Kreatifitas d. Logika, Musik, Imajinasi, Kreatifitas.
e. Musik, Gambar, Bahasa, Imajinasi
58. Spiritual keagamaan akhlak mulia terdapat pada otak ...
a. Rasional b. Irasional c. Spiritual e. Emosional d. Tempramental
59. Membuat orang mengenali, mengkategorisasikan berbagai hal di alam dan lingkungan adalah jenis kecerdasan ...
a. Angka b. Alam c. Nada d. Sosial e. Gambar
60. Kemampuan dan kepekaan menjawab pertanyaan mendalam tentang makna hidup dan mengapa kita mati adalah jenis kecerdasan ...
a. Angka b. Alam c. Nada d. Sosial e. Spiritual
61. Untuk menyampaikan informasi kepada khalayak ramai, anda akan menggunakan bahasa ...
a. Baku, lugas dan tegas
b. Daerah anda
c. Gaul yang dipergunakan sehari-hari
d. Asing yang anda kuasai
e. Sulit dimengerti orang
62. Jika anda ingin menyampaikan pendapat secara tertulis kepada orang lain maka anda akan menggunakan bahasa ...
a. Lugas mudah dipahami b. Sopan dan santun c. Sulit dipahami
d. Tulisan tidak bias dibaca e. Sulit dipahami
63. Pada saat berkomunikasi dengan orang lain sikap anda yang benar sebagai pendengar yaitu ...
a. Menyimak pembicaraan dengan baik b. Memotong pembicaraan
c. Mengalihkan topic pembicaraan d. Membantah pembicaraan
e. Tidak bersikap sopan dan wajar
64. Ketika anda sedang berdiri dan mendengar teman seprofesi bercanda dengan tidak sopan (asusila) ...
a. Menjauh dan menghindar b. Menanggapinya c. Marah-marah
d. Sok menasehati e. Bertindak arogan
65. Bila anda berada pada suatu tempat dan mendapat perlakuan yang tidak senonoh atau dilecehkan oleh teman sejawat ...
a. Menghindar dan menyampaikan keberatan b. Melawan dengan spontan
c. Marah menggunakan kata tidak sopan d. Teriak sambil menangis
e. Melapor pada yang berwajib
66. Dalam melaksanakan tugas profesi anda ...
a. Melaksanakan dengan tanggung jawab b. Menunda pekerjaan
c. Tidak memiliki program d. Bersikap acuh masa bodoh
e. Melalaikan peraturan yang ada
67. Apabila pekerjaan anda menumpuk, apakah anda pernah bekerja sampai larut malam untuk menyelesaikannya? ...
a. Kadang-kadang b. Sangat jarang c. Tidak pernah
d. Sering sekali e. Sangat tidak pernah
68. Di lingkungan anda sedang diadakan kegiatan membersihkan lingkungan yang dikoordinir oleh ketua RT, sikap anda? ...
a. Turut dengan warga lain b. Sibuk dengan pekerjaan anda
c. Pura-pura sakit d. Acuh tak acuh
e. Pergi alasan urusan lain
69. Bila di lingkungan tempat anda tinggal sering sekali terjadi banjir jika hujan, apakah tindakan anda? ...
a. Memberi usulan demi mencari solusi b. Acuh tak acuh
c. Membersihkan sekitar rumah saja d. Memperbaiki solokan sendiri
e. Pindah tempat tinggal
70. Anda sangat menginginkan sesuatu dalam hidup, manakah yang menggambarkan sikap anda yang akurat? ...
a. Berharap saya akan mendapatkannya, namun tanpa usaha
b. Mencoba dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan yang diinginkan
c. Tidak berhenti sampai saya mendapatkan apa yang diinginkan
d. Pasrah dengan hasil usaha yang telah dilakukan
e. Menunda keinginan, sampai timbul semangat lagi.

SKB 3 Menteri Tahun 1975 Dan Implikasinya

A. Pendahuluan
Sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang tidak kecil, terutama pada masa penjajahan.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia; pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis (khususnya dari kalangan Muhammadiyah) kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.
Pada masa itu, banyak sekali peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang pada intinya tidak lain adalah untuk mengontrol atau mengawasi madrasah. Karena pemerintah takut dari lembaga pendidikan tersebut akan muncul gerakan atau ideologi perlawanan yang akan mengancam kelestarian penjajahan mereka di bumi Indonesia ini. Misalnya, penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Ordonansi guru dinilai ummat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam di Indonesia. Selain Ordonansi Guru, pemerintah kolonial Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah harus diberikan secara berkala.
Dampak dari ketakutan yang berlebihan itu mencapai puncaknya ketika banyak madrasah yang ditutup karena dianggap melanggar ketentuan yang digariskan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka tahun 1945, madrasah kembali bermunculan dengan tetap menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam. Tentunya tidak lepas dari perhatian para pejabat pada saat itu. Terbukti Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) sebagai badan legislatif pada waktu itu, dalam maklumatnya pada tanggal 22 Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan dan pengajaran di langgar, surau, masjid dan madrasah harus berjalan terus dan ditingkatkan. Dan pada tanggal 27 Desember 1945, sebagai tindak lanjut dari maklumat di atas, BPKIP menyarankan agar madrasah dan pondok pesantren mendapat perhatian dan bantuan materiil dari pemerintah, karena madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pemerintah RI tidak kalah perhatiannya terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya, terbukti juga dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) pada 3 Januari tahun 1946. Dalam bagian struktur organisasinya terdapat bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurus masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren), di samping itu ditambah lagi dengan penyelenggaraan pendidikan guru untuk pengajaran agama di sekolah umum, dan guru pengetahuan umum di perguruan-perguruan agama.
Namun menarik diamati, perhatian dari pemerintah yang ditandai dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BPKNIP tersebut tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika undang-undang pendidikan nasional pertama (UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem, karena sistem pendidikan madrasah menurut pemerintah (Departemen P&K) lebih didominasi oleh “muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum standar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah”. Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren.
Seharusnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama (Depag) berusaha membuka akses madrasah ke pentas nasional, karena memang salah satu tujuan dari pembentukan Departemen Agama adalah untuk memperjuangkan politik pendidikan Islam. Tetapi terlepas apakah tujuan itu tercapai atau tidak, banyak yang menganggap Departemen Agama telah banyak berbuat untuk memajukan madrasah. Hal itu bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang dibuat oleh Departemen Agama.
Salah satu kebijakan Departemen Agama terhadap madrasah yang cukup mendasar adalah dibuatnya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang “Peningkatan Mutu pendidikan pada Madrasah” pada tahun 1975. Maka timbul beberapa pertanyaan; Mengapa SKB 3 Menteri ini dikeluarkan? Apa yang melatarbelakangi lahirnya SKB 3 Menteri ini? Apa dampak positif dan negatifnya? Dan bagaimana implikasinya terhadap madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam?
Tulisan ini membahas hal-hal tersebut dengan mengetahkan materi pokok dari SKB 3 Menteri tahun 1975, madrasah pasca SKB 3 Menteri, munculnya MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus), implikasi dari SKB 3 Menteri tersebut. Dan pada penutup akan diberikan kesimpulan.
B. Pembahasan
1. Lahirnya SKB 3 Menteri tahun 1975
Pada tanggal 18 April tahun 1972, presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang “Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan.” Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal :
a. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.
b. Menteri tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
c. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya.
Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama sebagai penyelenggara pendidikan madrasah tidak saja yang bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga yang bersifat kejuruan. Dengan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 itu, penyelenggaran umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah menggunakan kurikulum nasional kepada kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menarik untuk dicermati, bahwa kebijakan Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Keppes dan Inpres ini juga dipandang oleh sebagian umat Islam adalah sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah, padahal madrasah merupakan wadah utama pendidikan dan pembinaan umat Islam, sekaligus sebagai lembaga formal umat Islam yang lebih diperhatikan pemerintah terutama bagi masyarakat pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan, yang sejak zaman penjajahan diselenggarakan oleh umat Islam.
Ketegangan ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan dikeluarkannya Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 yang isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan Keppres 34/1972 dan Inpres 15/1974, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
Menarik untuk dicatat, bahwa keluarnya SKB ini didasarkan pada hasil sidang Kabinet terbatas pada tanggal 26 Nopember 1974. Pada sidang Kabinet itu, Menteri Agama RI menyampaikan kecemasan umat Islam berkaitan dengan isi dan implikasi lebih jauh dari Keppres dan Inpres. Pemerintah ternyata memberi perhatian terhadap masalah tersebut, sehingga Presiden mengeluarkan petunjuk pelaksanaan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974, yang isinya :
1. Pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan kebudayaan, sedangkan tanggung jawab Pendidikan Agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
2. Untuk pelaksanaan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen P&K, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama.
Kelahiran SKB 3 Menteri ini memang antara lain untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi Keppres dan Inpres di atas. SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
1. Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA
2. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
3. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
4. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Signifikansi SKB 3 Menteri ini bagi umat Islam adalah, pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa-siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga-lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan bersamaan dengan itu, kedua, membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.
Pada tahap awal setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978, kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987. penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
SKB 3 Menteri sudah mendatangkan kelegaan yang merata di kalangan madrasah, dan telah menjadikan kedudukan madrasah menjadi lebih mantap dan lebih terjamin. Tetapi hal demikian tidak berarti, bahwa pelaksanaan selanjutnya akan dapat berjalan tanpa problema-problema yang beberapa di antaranya, hanya dapat diatasi dengan kerja tekun serta senantiasa memelihara sikap sabar dan bijaksana.
Ada dua persoalan penting, yaitu pertama, kurikulum dan peningkatan mutu serta kedua, menyediakan tenaga pengajar. Persoalan penyusunan kurikulum senantiasa harus memperhatikan kurikulum agama yang akan digunakan oleh madrasah-madrasah terutama madrasah swasta. Persoalan tenaga pengajar merupakan bagian yang paling menentukan, tetapi juga yang paling sulit mengatasinya dalam problem meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah. Terutama guru-guru berbagai mata pelajaran umum, yang melihat besarnya jumlah madrasah yang kurang memadai fasilitasnya. Tidak hanya itu, guru-guru mata pelajaran agama pun memerlukan penanganan yang serius dan bersifat kontinyu.
2. Madrasah pasca SKB 3 Menteri
Dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut; ternyata banyak sekali madrasah yang tidak mengikuti kurikulum tersebut (kurikulum 1975) dan tetap berusaha mempertahankan status madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam sebagai pengajaran pokok. Meskipun SKB 3 Menteri itu memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain, siswa keluaran dari madrasah memiliki kesempatan yang sama dengan para lulusan sekolah umum untuk mengisi dan memainkan peran-peran yang ada di tengah masyarakat.
Sisi positif lain dari SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam. Selain itu, kebijakan ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional yang tuntas. Dengan demikian, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum meskipun pengelolaannya tetap berada ada Departemen Agama.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, bahasa (Indonesia dan Inggris), fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
SKB 3 Menteri itu kemudian dikuatkan dengan SKB 2 Menteri, antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No. 0299/U/1984 (DikBud); 045/1984 (Agama) tahun 1984 tentang “Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah”. Yang isinya antara lain: penyamaan mutu lulusan madrasah yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi. SKB 2 Menteri ini dijiwai oleh ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan, baik di sekolah umum maupun di madrasah.
Substansi dan pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah ini antara lain :
1. Kurikulum sekolah umum dan madrasah terdiri dari program inti dan program khusus.
2. Program inti untuk memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama.
3. Program khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi bagi sekolah dan madrasah tingkat menengah atas.
4. Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan belajar dan sistem penilaian adalah sama.
5. Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh ke dua departemen tersebut.
Menindak lanjuti SKB 2 Menteri tersebut, lahirlah kurikulum 1984 untuk madrasah yang tertuang dalam keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 untuk madrasah Ibtidaiyah. No. 100 tahun 1984 untuk madrasah Tsanawiyah, dan No. 101 tahun 1984 untuk madrasah Aliyah. Dengan demikian kurikulum 1984 tersebut mengacu kepada SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri, baik dalam susunan program, tujuan, maupun bahan kajian dan pelajarannya.
Khusus kurikulum MI dan MTs tahun 1984 ini terjadi penyesuaian dan penyempurnaan struktur programnya, yakni melalui SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987 tentang Penyesuaian Struktur Program Kurikulum MIN dan MTsN dan berlaku sampai datangnya kurikulum 1994.
Ciri madrasah yang paling menonjol sejak SKB 3 Menteri sampai 1987 adalah menyangkut pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran yang direalisasikan dengan perubahan dan pengembangan kurikulum. Perubahan demi perubahan yang berlangsung relatif cepat itu menunjukkan bahwa upaya untuk mencari model kurikulum yang tepat bagi pendidikan Islam (madrasah) memang bukan pekerjaan yang sederhana. Di satu sisi, ada idealisme yang berpangkal pada atau disemangati oleh Islam sebagai ajaran mulia yang mendorong umatnya untuk memadukan dua kepentingan sekaligus, yaitu dunia dan akhirat; sementara di sisi lain, idealisme itu harus dihadapkan pada realitas dan tantangan perkembangan masyarakat semakin hari semakin kompleks dan membutuhkan jawaban yang kongkrit.
Terlepas dari berbagai sisi positif sejumlah kebijakan yang dilakukan terhadap madrasah, dari mulai SKB 3 Menteri tahun 1975 sampai dengan pemberlakukan kurikulum 1984 dan penyempurnaannya untuk tingkat MI/MTs pada 1987, sebagai lembaga pendidikan yang sejak awal lahirnya identik dengan identitas keislaman, madrasah tetap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Pertama, di satu sisi ia harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya; kedua, di sisi lain ia dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Ini jelas beban yang sangat berat dipikul oleh madrasah. Kegagalan madrasah dalam memikul beban tersebut hanya akan memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah semacam “sekolah serba tanggung”.
Belum lagi kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB 3 Menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait.
Masalah lain lagi, beban kurikulum madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak dan lebih berat dibanding dengan beban belajar anak sekolah. Hal itu dikarenakan pihak madrasah (Departemen Agama) menerjemahkan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang “madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam” dan “kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” diterjemahkan beban kurikulum madrasah adalah 100% pelajaran umum di sekolah ditambah dengan 100% pelajaran agama di madrasah. Padahal jam belajar tetap sama dan sikuensnya juga sama. Disisi lain kondisi, fasilitas dan latar belakang anak madrasah dengan anak sekolah cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah.
Melihat kondisi ini, pemerintah seharusnya “jeli” agar tidak lagi menomorduakan madrasah melainkan memperlakukannya secara khusus sehingga madrasah dapat mengejar ketertinggalannya. Barangkali inilah yang menjadi pemikiran Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA yang menjabat sebagai Menteri Departemen Agama selama dua periode (1983-1993) dengan pilot projectnya yaitu MAPK (madrasah Aliyah Program Khusus).
3. MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus)
Sejak SKB 3 Menteri tahun 1975 dikeluarkan dan diteruskan dengan SKB 2 Menteri tahun 1984, secara formal madrasah sebenarnya sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan pendidikan agama sebagai ciri kelembagaannya.
Ada semacam dilema bagi madrasah sejak saat itu, di mana di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan, tapi di lain pihak penguasaan murid terhadap ilmu agama, terutama seperti bahasa Arab, menjadi serba tanggung, karenanya kalau mengharapkan lahirnya figur-figur kiai atau ulama dari madrasah tersebut, tentu saja adalah hal yang terlalu riskan.
Menyadari akan hal itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan dan usaha tersebut terealisasi dengan keinginan pemerintah mendirikan Madrasah Aliyah yang bersifat khusus, yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Kelahiran MAPK yang didasari dengan Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1987, tepatnya pada masa Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA menjabat sebagai Menteri Departemen Agama selama dua periode (1983-1993). Sistem pendidikan madrasah menjadi perhatian beliau di masa jabatannya. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. Untuk itu, beliau meninjau kembali SKB 3 Menteri tahun 1975, antara lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum, terutama dari segi kurikulum.
Menurut beliau, maksud SKB ini memang baik, tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum dari pada perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga, beliau pun merasa perlu untuk menyempurnakan SKB 3 Menteri itu melalui pilot project Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan proyek ini, harapan untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN dengan cepat akan segera terwujud.
Sasaran utama dari program ini adalah :
1. Siswa Aliyah yang berasal dari keluarga yang tidak mampu dalam aspek pembiayaan
2. Siswa yang menjadikan madrasah Aliyah sebagai terminal/tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, dan
3. Siswa yang setelah tamat menjadi pencari kerja. Atas dasar pemikiran tersebut maka ditetapkan visi MAPK menyiapkan SDM yang trampil, mandiri, religius dan berwawasan ke depan.
Adapun tujuan utama dibukanya program ini adalah :
1. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah Aliyah.
2. Untuk menyiapkan lulusan agar memiliki kemampuan dasar yang diperlukan bagi pengembangan diri sebagai ulama yang intelek.
3. Menyiapkan lulusan sebagai calon mahasiswa IAIN atau PTAI lainnya termasuk calon mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir.
Ide ini pun disetujui oleh Presiden Soeharto, sehingga pada tahun 1988 proyek MAPK dimulai dan untuk tahap pertama, dibuka di lima propinsi, yaitu Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram. Keberhasilan dan perkembangan proyek ini pun mulai tampak. Antara lain bertambah jumlah MAPK sudah mencapai 110 buah, dan berhasilnya 48 alumni MAPK mengikuti proses belajar mengajar di Universitas al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1991.
Ternyata dalam perkembangannya, MAPK ini belum dapat menjadi program unggulan di madrasah Aliyah, hal ini dikarenakan masih sering terjadi benturan dalam mengatur waktu belajar antara program reguler dengan program “ekstra kurikuler ketrampilan”. Lebih-lebih bila kepada madrasahnya kurang begitu perhatian dengan program ini. Hal ini dikarenakan juga program ketrampilan ini masih dianggap program “tempelan” bagi madrasah Aliyah itu sendiri.
Meskipun demikian, munculnya MAPK ini sedikit banyaknya telah membawa perbaikan dan kebaikan secara kuantitas dan kualitas bagi madrasah menuju sistem pendidikan nasional. Yang pada akhirnya MAPK diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang merupakan realisasi UU No. 2 tahun 1989.
4. Implikasi SKB 3 Menteri
Implikasi SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain:
a. Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
b. Aspek Kurikulum
Karena diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
c. Aspek Siswa
Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
1. ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat,
2. siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, dan
3. lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
d. Aspek Masyarakat
SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti jelas dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%).
Trend pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara lain :
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
2. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
3. Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan sebagainya).
4. Pengadaan / penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
5. Pengadaan bantuan dana; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
6. Pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
7. Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
8. Pemberian kesempatan untuk magang / latihan kerja.
9. Pemberian bantuan managemen pendidikan.
10. Bantuan pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
11. Kerjasama dalam penelitian dan sebagainya.
5. Madrasah Ke Depan
Untuk peningkatan mutu madrasah secara efektif, diperlukan pemahaman terhadap hakekat dan problematika madrasah. Madrasah sebenarnya merupakan model lembaga pendidikan yang ideal karena menawarkan keseimbangan hidup: iman-taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan-teknologi (iptek). Di samping itu, sebagai lembaga pendidikan berbasis agama dan memiliki akar budaya yang kokoh di masyarakat, madrasah memiliki basis sosial dan daya tahan yang luar biasa. Atas dasar itu apabila madrasah mendapatkan sentuhan menejemen dan kepemimpinan yang baik niscaya akan dengan mudah menjadi madrasah yang diminati masyarakat. Seandainya mutu madrasah itu sejajar saja dengan sekolah, niscaya akan dipilih masyarakat, apalagi kalau lebih baik.
Persoalannya, kondisi sebagian besar madrasah sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Apabila dilihat dari missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga dakwah. Sedangkan apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk tidak mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kondisi madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan tak terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru, fasilitas) rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah, dan kepercayaan stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.
Lalu upaya apakah yang paling strategis atau kiat-kiat yang paling jitu dalam mempercepat peningkatan mutu madrasah. Menurut Yahya Umar , kalau madrasah diibaratkan mesin, maka ada tiga hal yang hendak dilakukan direktoratnya: menyehatkan mesin, mengurangi beban dan merubah beban menjadi energi.
Pertama, menyehatkan mesin. Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya organisasi dan proses organisasi. Dalam mewujudkan budaya madrasah yang baru, diperlukan konsolidasi idiil berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama yang selama ini mengalami pendangkalan, pembelokan dan penyempitan makna. Konsep tentang ihlas, jihad, dan amal shaleh perlu direaktualisasikan maknanya dan dijadikan core values dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Dengan landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki modal sosial (social capital) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa saling percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen, dedikasi, kesungguhan, kerja keras, persaudaraan dan persatuan.
Kedua, kurangi beban. Madrasah memang sarat beban, apabila dilihat dari missi, muatan kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan politik. Penyelenggaraan kurikulum madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar tidak terpaku pada formalitas yang padat jam tetapi tidak padat misi dan isi. Orientasi pendidikan tidak lagi pada "having" tetapi "being", bukan "schooling" tetapi "learning", dan bukan "transfer of knowledge" tetapi membangun jiwa melalui "transfer of values" lewat keteladanan. Metode belajar yang mengarah pada, "quantum learning", "quantum teaching" dan "study fun" dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya Belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain sambil belajar, guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya belajar Bangsa Indonesia yang banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan sikap kesungguhan, prihatin (tirakat), ihlas (nrimo, qanaah), tekun dan sabar. Siswa madrasah harus dididik menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa pejuang, seperti sikap tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten, dan pekerja keras. Multiple intelligence (intellectual, emotional dan spiritual quotient) siswa dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan yang keras, bukan sambil bermain atau dalam suasana fun semata.
Ketiga, merubah beban menjadi energi. Pengelola madrasah baik pimpinan maupun gurunya haruslah menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif. Pemimpin madrasah tidak sepatutnya hanya berperan sebagai administrator, "pilot" atau "masinis" yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, melainkan harus diibaratkan seorang "sopir", "pendaki" atau "entrepreneur" yang senantiasa berupaya menciptakan nilai tambah dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari dan memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan (analisis swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi, teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pemimpin yang berjiwa entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan (jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya, beban berat di sebuah mobil dapat dirubah menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun. Intinya, cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan berjiwa besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu karakteristik madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dari sebuah pengajian di mushallah/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya menjadi madrasah. Proses evolusi madrash selama ini ada yang berlangsung dengan baik dan ada yang jalan ditempat, tetapi sangat jarang yang mati. Semua itu tergantung pada orang-orang yang ada di dalamnya.
Menurut Azyumardi Azra, inilah tantangan madrasah yang harus dihadapi, meskipun peluang bagi umat Islam jelas masih tetap besar, setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, umat Islam telah menemukan “new attachment” yang merupakan modal yang sangat berharga bagi madrasah atau lembaga pendidikan Islam umumnya. Kini tinggal bagi madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya untuk memberdayakan dirinya benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi.
Menurut Mastuhu, madrasah dapat dikembangkan melalui kekuatan, karakter dan kebutuhannya sendiri. Kekuatan madrasah adalah lahir dari panggilan agama bahwasanya belajar dan mencari ilmu merupakan perintah wajib sepanjang hayat. Karakteristik madrasah adalah memegang tegup prinsip bahwa belajar dan menyelenggarakan usaha pendidikan adalah panggilan tugas agama, serta tidak hanya tanggung jawab sebatas kepentingan dunia tetapi juga diyakini harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti atau di hadapan Tuhan kelak. Kebutuhan madrasah adalah penguatan pada seluruh komponen pendidikannya dan pengakuan atau kepercayaan dari semua pihak. Islam pasti tidak akan mengajarkan kekerasan dan madrasah jug pasti tidak akan mengajarkan hal yang anti-negara. Madrasah membutuhkan evaluasi dan akreditasi demi kemajuan dan peningkatan mutu, serta kontribusinya bagi bangsa dan negara.
Bagaimana pun solusi yang ditawarkan, madrasah telah menunjukkan jati diri yang fenomenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Madrasah telah melakukan perjalanan panjang dan telah banyak memberikan kontribusi pada dunia pendidikan Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
C. Kesimpulan
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 ternyata menimbulkan reaksi keras umat Islam. Inti kedua keputusan itu adalah agar penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kebijakan ini dianggap suatu kekeliruan oleh umat Islam. Karena itu mereka melakukan reaksi keras sehubungan dikeluarkannya kebijakan tersebut. Reaksi ini ternyata dipahami pemerintah. Karena itu, menyikapi keputusan dan reaksi umat Islam, dilakukanlah kesepakatan tiga menteri yang dikenal dengan Surat Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama pada tahun 1975.
SKB 3 Menteri ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah. SKB 3 Menteri itu telah direalisasikan dengan dikeluarkannya kurikulum baru pada tahun 1976. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak sekali madrasah yang tidak mengikuti kurikulum tersebut dan tetap berusaha mempertahankan status madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam sebagai pengajaran pokok, SKB ini sering dipuji banyak memiliki nilai positif antara lain :
Pertama, melalui SKB 3 Menteri, madrasah telah sejajar kedudukannya dengan sekolah-sekolah umum. Ini berarti pula bahwa siswa keluaran dari madrasah manapun memiliki kesempatan yang sama dengan para lulusan sekolah umum untuk mengisi dan memainkan peran-peran yang ada di tengah masyarakat.
Kedua, SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam.
Ketiga, hal yang paling penting dan strategis dari SKB 3 Menteri itu adalah upaya untuk mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut adalah formalisasi dan strukturisasi madrasah. Formalisasi ditempuh dengan menegerikan sejumlah madrasah dengan kriteria tertentu yang diatur oleh pemerintah, di samping itu pemerintah juga mendirikan madrasah-madrasah negeri yang baru. Strukturisasi dilakukan dengan mengatur penjenjangan dan perumusan kurikulum yang cenderung sama dengan penjenjangan dan kurikulum sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Keempat, dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI sederajat SD, MTs sederajat dengan SMP, MA sederajat dengan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu Sosial, Kimia, Matematika, Geografi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, lahirnya SKB 3 Menteri ini tampaknya telah dijadikan sumber inspirasi. Peristiwa dan langkah pada periode itu bisa dipandang sebagai momen strategis bagi eksistensi dan perkembangan madrasah pada masa berikutnya. Madrasah tidak saja tetap eksis dan dikelola oleh Departemen Agama, tetapi sekaligus diposisikan secara mantap dan tegas seperti halnya sekolah dalam sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahap integrasi ini dapat dikatakan terjadi penerimaan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional di satu pihak, dan transformasi madrasah kedalam jalur pendidikan persekolahan di pihak lain. Dalam hal ini, secara umum madrasah mengalami perkembangan definisi yang tidak lagi merupakan lembaga pendidikan Islam dalam pengertian eksklusif keagamaan, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan jalur sekolah yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Perkembangan ini agaknya belum pernah terjadi di masa sebelumnya karena berbagai kendala baik yang menyangkut intern umat Islam ataupun karena kondisi politik pemerintah pada saat itu.
Akan tetapi, Ini jelas beban yang sangat berat dipikul oleh madrasah. Di satu sisi ia harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya, di sisi lain ia dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar dengan sekolah-sekolah umum.
Melihat kondisi madrasah ini, pemerintah seharusnya tidak lagi menomorduakan madrasah, melainkan memperlakukannya dan memperhatikannya secara khusus dan “jeli” agar madrasah dan siswanya dapat mengejar ketertinggalannya dan tidak lagi menjadi forgotten community. Mungkin pemerintah selama ini berasumsi: "tanpa dibantu pun madrasah sudah dapat hidup". Asumsi ini memang tidak terlalu salah, akan tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak membantunya. Mudah-mudahan dengan kebijakan Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Yahya Umar yang akan memberdayakan madrasah, terutama madrasah swasta dengan tiga hal: memberdayakan murid, guru dan madrasah bisa terwujud dan terealisasi. Semoga...
Wallahu a'lam bisshowab...


Daftar Pustaka

Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, 2005
Azra, Azyumardi, Madrasah dan Tantangan Globalisasi: Persfektif Historis-Sosiologis Pendidikan Islam, dalam Roundtabel Discussion: Masa Depan Madrasah, Ciputat: INCIS, 2004
Depag RI, Sejarah Madrasah: Pertumbuhan, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2004
Djambek, Saadoeddin, Kurikulum Baru Madrasah Negeri Dalam Rangka Realisasi SKB 3 Menteri, Sarana Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri, Proyek Penelitian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1975/1976
Fajar, Malik, Madrasah dan Tantangan Modernintas, Bandung: Mizan, 1998
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996
Kasdi, Abdurrahman, Munawir Sjadzali dan International Studies; Menembus Kebekuan Pendidikan Islam, www.ditpertais.net/jurnal/vol62003lo.asp, 2008 diakses 24 Desember 2008

Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Mastuhu, Madrasah dan Tantangan Pendidikan Modern, dalam Roundtabel Discussion: Masa Depan Madrasah, Ciputat: INCIS, 2004
Menteri Agama RI, Sambutan Pada Pembukaan Rapat Koordinasi Sertifikasi Guru Madrasah Tahun 2007 Tanggal 17 Januari 2007 Di Jakarta, www.depag.go.id/ file/dokumen/ 17Januari2007 diakses 24 Desember 2008
Rahim, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan pemikiran, 2005
___________, Upaya Integrasi Madrasah Dalam Sistem Pendidikan Nasional, http://pendis.depag.go.id/madrasah diakses 24 Desember 2008
___________, Pengakuan Madrasah sebagai Sekolah Umum (berciri khas Islam), http://pendis.depag.go.id/madrasah diakses 24 Desember 2008
Saleh, Abdurrahman, Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri dan Relevansinya dengan SKB 3 Menteri, Sarana Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri, Proyek Penelitian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1975
Sutejo, Muwardi, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Dirjend. Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, 1992
Syukur, Fatah, Madrasah Dan Pemberdayaan Peran Masyarakat http://citraedukasi.blogspot. com/2008 diakses 24 Desember 2008
Tobroni, Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah: Tanggapan atas Kebijakan Dirjen Pendidikan Islam Depag (Webmaster: artikel Pendidikan Network, 2008), diakses 24 Desember 2008

BERDAKWAH MELALUI KISAH CERITA UNTUK PENANAMAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Abstrak
(Context) Zaman yang semakin sibuk membuat orangtua, bekerja lebih keras dan lebih lama di luar rumah, sehingga mereka sudah kehabisan tenaga untuk menghabiskan waktu bersama anaknya. Banyaknya pilihan media juga cenderung membuat orangtua membiarkan anaknya ’didongengi’ oleh film, acara TV, musik, buku, komik, internet, dan game yang belum tentu sesuai perkembangan usia mereka dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan orangtua kepada anaknya. Padahal bercerita mempunyai dampak yang lebih buat anak dibandingkan dengan media-media yang lebih modern. Karena “kesibukan”, orangtua mengalihkan kepada guru di sekolah yang diyakini dapat membimbing anaknya. Lalu peran gurulah yang diharapkan dapat memberikan penanaman pendidikan agama dengan berbagai metode pengajaran dan “dakwah” kepada murid-muridnya.
(Question) Apakah teori komunikasi sebagai taktik operasionalnya dalam strategi komunikasi dapat diterapkan di dalam dakwah juga? Apakah narrative theory dapat diterapkan dalam dakwah? Dan bagaimana penerapan teori tersebut yang dibangun dalam ilmu komunikasi untuk dakwah?
(Hypothesis) Peneliti berasumsi guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan ini sering memberikan dakwah dan bimbingan pengajaran kepada murid-muridnya sebagai proses pembelajaran.
(Theory) Teori yang difokuskan dalam penelitian ini adalah teori Naratif yang dikembangkan oleh Walter Fisher (1987), disebutkan bahwa manusia seperti “homo narrans” atau “storytelling animal”. Paradigma naratif secara sederhana menjelaskan bagaimana semua bentuk komunikasi yang naratif, yang berarti bahwa kita berkomunikasi dalam bentuk cerita, atau memberikan suatu laporan mengenai peristiwa-peristiwa yang ada.
(Methodology) Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dan melakukan analisis data. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta kelas 1 s/d kelas 6 berjumlah 18 orang. Sampel yang dipakai adalah guru-guru yang mengajar materi Pendidikan Agama Islam berjumlah 18 orang tersebut Teknik pengumpulan data dengan observasi dan angket. Dan teknik analisa data dengan cara membuat abstraksi serta dipindahkan jawaban responden dalam tabulasi dan disusun secara rinci dalam bentuk tabel kemudian perhitungan rata-rata diukur dengan menggunakan rumusan distribusi frekuensi.
(Analysis) Para guru di Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta menggunakan metode bercerita dalam memberikan pendidikan agama Islam pada anak didiknya dengan mengambil sumber dari al-quran dan hadist, buku-buku cerita bergambar, majalah atau yang berasal dari pengalaman dan pengamatan guru dengan memperhatikan kondisi anak didik. Tujuan ide bercerita itu sendiri berupa nasehat guna memperbaiki sikap anak didik, diharapkan agar anak didik tidak merasa dinasehati dan dilarang oleh guru.

(Conclusion) Berdakwah dengan cara bercerita dalam bentuk cerpen, cerber, novel, dan sebagainya adalah dibolehkan selama kandungan cerita tersebut mengandung hikmah atau pelajaran bagi kehidupan dan tidak mengandung anjuran pada kemaksiatan. Dan penerapan teori komunikasi khususnya narrative theory yang dikembangkan oleh Walter Fisher (1987) dapat dilakukan dan dikembangkan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam melalui dakwah dengan kisah cerita.

A. Pendahuluan
Ilmu komunikasi secara bertahap telah menelusuri sejarah yang panjang. Ia adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial (social sciences) yang bersifat multidisipliner. Pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk mengamati manusia dari berbagai ilmu sosial telah banyak cara menjelaskan proses komunikasi.
Bila seseorang dalam berkomunikasi akan berhasil jika memahami ilmu-ilmu yang lainnya, seperti psikologi misalnya. Ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang ada di hadapannya, maka ia akan melihat wajahnya. Wajah seseorang akan memberikan banyak makna (mungkin 1001 makna) yang mendasar dan dapat memasuki dalam jiwanya, maka lewat wajahnya seseorang akan mengerti sedang berhadapan dengan siapa. Apakah berhadapan dengan orang yang sedang senang, sedih, sakit, berduka dan lain sebagainya. Sehingga ketika sedang berkomunikasi tidak menemukan kesalahan. Untuk itulah psikologi digunakan dalam berkomunikasi.
Sosiologi juga dibutuhkan dalam komunikasi. Dimana setelah pergaulan manusia semakin bertambah antara satu dengan yang lainnya, disadari bahwa masyarakat itu mempunyai penghidupan sendiri. Adanya masyarakat karena perhubungan jiwa dan paham timbal balik antara manusia dengan sesamanya, sehingga hidupnya dikuasai oleh beberapa norma dan hukum yang perlu diketahui oleh masyarakat itu sendiri.
Maka dari itu, dalam komunikasi seseorang seharusnya memahami strategi komunikasi yang harus digunakan, karena berhasil tidaknya kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh strategi komunikasi .
Komunikasi mengandung sifat informatif dan juga sifat persuasif. Sifat informatif artinya bahwa komunikasi merupakan upaya memberikan pengetahuan agar orang lain tahu dan mengerti. Sifat persuasif artinya bahwa komunikasi merupakan upaya mempengaruhi orang lain agar orang lain mau menerima dan bersedia mengikuti ajaran paham atau keyakinan untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu tindakan atau kegiatan sesuai dengan apa yang disampaikan komunikatornya.
Dari dua sifat komunikasi ini, mempunyai kesamaan yang mendasar dalam dakwah (islamic communication), sekalipun terdapat perbedaan juga. Dakwah yang sering disebut tabligh sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan atau ajaran agama Islam. Dan di dalam kegiatan tersebut terdapat unsur-unsur ajakan, seruan, atau panggilan agar orang yang dipanggil berkenan mengubah sikap dan perilakunya sesuai dengan ajaran agama Islam yang dipeluknya. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanannya yakni komunikasi bermuatan pesan umum, sedangkan dakwah berkonotasi pesan khusus ajaran agama Islam.
Islam sebagai agama sangat menekankan adanya kehidupan secara kolektif, artinya manusia senantiasa memerlukan orang lain. Islam pun menekankan adanya hubungan atau komunikasi secara rutin dan terus menerus sepanjang manusia selalu menjalankan tugas-tugas hidupnya baik secara vertikal maupun horizontal. Komunikasi vertikal mengandung makna hubungan manusia sebagai makhluk dengan Tuhan (sang Pencipta), sedangkan komunikasi horizontal memiliki pengertian hubungan makhluk dengan makhluk lain termasuk manusia. Dengan kata lain, bahwa pemahaman ajaran Islam tidak terbatas kepada pengertian ibadah mahdhah (shalat, puasa, zakat dan haji) melainkan terfokus kepada seluruh aspek kehidupan manusia. Artinya Islam sebagai ajaran moral yang membentuk seluruh perilaku masyarakat dengan baik, sehingga terwujud kondisi masyarakat yang baik dan islami. Dan tentunya perubahan tingkah laku yang terjadi pada masyarakat karena adanya kegiatan dakwah yang diterima secara sepenuhnya.
Jadi, hakekat komunikasi dan dakwah mempunyai persamaan, yaitu proses mengupayakan perubahan prilaku (tingkah laku) seseorang menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Timbul pertanyaan, apakah teori komunikasi sebagai taktik operasionalnya dalam strategi komunikasi dapat diterapkan di dalam dakwah juga? Teori komunikasi apa saja yang dapat diterapkan dalam dakwah? Dan bagaimana penerapan teori tersebut yang dibangun sebagai ilmu komunikasi untuk dakwah?
Melalui buku Katherine Miller berjudul Communication Theories yang memiliki “segudang” teori komunikasi, penulis membatasi hanya Theories of Symbolic Organization pada Chapter 6. Penulis akan mendeskripsikan dan menganalisa penerapan teori ini dalam dakwah dengan segala keterbatasan pengetahuan atau referensi yang ada dan juga waktu yang tersedia untuk penulisan makalah ini.
B. Pembahasan
1. Teori Komunikasi
a. Schema Theory
Wick (1992) menyatakan bahwa Teori skema menunjukkan manusia sebagai pemroses informasi yang aktif. Dan pemikiran skematis berasal dari kebutuhan untuk mengorganisasikan pemikiran terhadap tujuan ekonomi kognitif. Untuk memahami teori ini ada dua pertanyaan yang diajukan, yaitu apa dan bagaimana.
b. Attribution Theory
Attribution Theory merupakan pemahaman terhadap cara untuk menjawab pertanyaan “how”. Teori ini dikembangkan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967), dan Edward Jones (1976).
Atribusi merupakan hasil olah kognisi seseorang dengan memanfaatkan informasi yang ada di lingkungan. Bahkan Hewstone & Moscovici (1998) menyatakan bahwa atribusi pada seting sosial adalah bersumber pada representasi sosial. Atribusi tidak hanya hasil pikir individu semata melainkan pengaruh dari wacana atau representasi sosial yang berkembang di masyarakat.
Teori ini berkembang dalam psikologi sosial terutama sebagai senjata yang digunakan dalam menjawab berbagai permasalahan terkait dengan persepsi sosial. Misalnya, jika seorang berlaku agresif, apakah hal ini berarti ia seorang yang agresif (karakteristik individu) ataukah karena situasi yang mengharuskan ia berbuat demikian (situasional)? Tentu saja atribusi sangat berhubungan dengan informasi-informasi yang memang digunakan dalam menarik kesimpulan.
Menurut Bradbury & Fincham (1990), terdapat perbedaan yang signifikan dalam cara seseorang melihat perilaku pasangannya pada pasangan yang bahagia dan tidak. Pada pasangan yang tidak bahagia, perilaku yang dianggap negatif atau tidak diinginkan pasangan akan dilihat sebagai; (a) karakteristik pasangan, berarti atribusi internal; (b) stabil, berlangsung terus menerus; (c) global atau dianggap sama pada aspek-aspek lain (generalisasi).
Sementara perilaku yang menyenangkan, dipandang sebagai; (a) situasional atau atribusi eksternal; (b) tidak stabil, berlaku sekali waktu; (c) merupakan aspek spesifik.
Weiner (1986) membagi attribution theory, yaitu:
1. Internal Attribution
Internal Attribution memposisikan sebab tingkah laku khusus dalam aktor sosial. Misalnya, jika teman kita terlambat kita akan berpikir bahwa dia malas.
2. External Attribution
External Attribution menempatkan sebab tingkah laku dari dalam situasi. Misalnya, jika teman kita terlambat, kita berpikir bahwa mungkin dia mengalami kendala di jalan.
Menurut penulis, kalau boleh dikatakan bahwa atribusi dalam metode dakwah disebut Uswatun Hasanah/Keteladanan. Ada empat sifat/karakter Rasulullah yang digunakan sebagai dakwah beliau yang dapat diteladani dan diterapkan dalam kehidupan, yaitu : shiddiq (transparansi), amanah (kompetensi), tabligh (komunikasi), fathanah (inteligensi).
Dakwah dengan uswatun hasanah adalah dakwah dengan memberikan contoh yang baik melalui perbuatan nyata yang sesuai dengan kode etik dakwah. Bahkan, uswatun hasanah adalah salah satu kunci sukses dakwah Rasulullah.
Keteladanan yang aplikatif (amaliyah) mempunyai pengaruh yang besar dan sangat kuat dalam penyebaran prinsip dan fikrah. Efektivitas uswatun hasanah sebagai metode dakwah dengan maksud agar mad’u dapat meresap dengan mudah dan cepat serta merealisasikan seruan dakwah.
c. Narrative Theory
Dalam teori Naratif yang dikembangkan oleh Walter Fisher (1987), disebutkan bahwa manusia seperti “homo narrans” atau “storytelling animal”. Paradigma naratif secara sederhana menjelaskan bagaimana semua bentuk komunikasi yang naratif, yang berarti bahwa kita berkomunikasi dalam bentuk cerita, atau memberikan suatu laporan mengenai peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang ada. Mereka yang menerima cerita ini memperkirakan validitas pesan-pesannya melalui pertimbangan nilai dan kepercayaan yang dimilikinya, dengan disesuaikan atau tidak dengan batas-batas paradigma ini.
Teori ini sangat humanistik pada asumsi-asumsi teoretiknya, karena sangat interpretatif dalam pembentukan ‘cerita’, baik dalam penerimaan oleh audiens maupun dalam kaitannya dengan aspek ruang dan waktu. Audiens pun memiliki karakter seperti itu, sehingga dalam suatu kelompok, meskipun diberi cerita yang sama, tentu akan diinterpretasikan secara tidak sama oleh orang yang berbeda.
Paradigma naratif ini merupakan teori yang sangat berguna bagi seseorang yang akan melakukan komunikasi dengan sekelompok audiens mengenai kebenaran alami dari suatu fenomena sosial, terutama untuk kasus-kasus komunikasi. Bagaimana kita sebagai komunikator bercerita kepada audiens dengan model narasi, dan pada saat yang sama audiens juga memperkirakan kredibilitas kita serta memperkirakan validitas yang kita komunikasikan tadi.
Saya kira Narrative theory dapat diterapkan dalam dakwah yang disebut dakwah bil qashash atau bil hikayah. Dakwah bil Qashash atau bil Hikayah, artinya berdakwah dengan cara bercerita.
d. Dramatism
Kenneth Burke (1897-1993) mengemukakan Dramatic Pentad sebagai konsep untuk menganalisis tindakan manusia yang tidak akan terlepas dari proses guilt (berbuat kejahatan) dan redemption (berbuat kebaikan). Burke sangat meyakini bahwa life is a drama (hidup adalah sebuah drama).
Teori ini mengklaim bahwa komunikator harus bertindak dan berperilaku seolah-olah ia sebagai aktor dalam sebuah drama, di mana mereka mencoba mencapai audiens guna menerima pandangan-pandangan dari mereka tentang kehidupan nyata. Dalam hal ini komunikator harus berupaya untuk mengenali dan mengidentifikasi kelompok audiens dengan berbagai cara untuk mendapatkan penerimaan dan masukan-masukannya.
Tampaknya teori ini mencoba menjelaskan fungsi-fungsi komunikator dalam kelompok, terutama para pemuka anggota kelompok dalam mencari pemahaman-pemahamannya dilakukan dengan mendekati audiens. Ini bukan berarti pandangan-pandangan audienslah yang dominan, namun pihak komunikator akan memanfaatkan segala cara untuk bisa berinteraksi secara langsung dengan audiens. Setidaknya ada lima unsur pokok dalam drama manusia yang serupa dengan model pendekatan kepada audiens, yakni: The act (apa yang dilakukan orang); The scene (konteks yang mengelilingi tindakan); The agent (orang yang melakukan tindakan); The purpose (tujuan yang eksplisit maupun implisit dalam tindakan), Agency (metode yang digunakan dalam bertindak).
2. Terapan Teori Komunikasi dalam Dakwah
Selama ini dakwah atau dikenal dengan istilah islamic communication lebih dipersepsikan sebagai ajakan, seruan dan tabligh. Pemahaman makna dakwah mengandung implikasi ukuran keberhasilan, dan ini jarang dikaji, sehingga sampai hari ini kita tidak dapat meneliti seberapa besar efektivitas dakwah. Ahmad Mubarak mendefinisikan bahwa dakwah adalah upaya mempengaruhi mad’u (audiens) agar mereka bertingkah laku seperti yang dikehendaki atau yang diharapkan oleh da'i (komunikan). Dengan definisi ini maka da'i membuat target perilaku yang dapat diukur pada masyarakat mad’u. Karena pekerjaan mempengaruhi merupakan aktivitas mental yang mencakup sensasi, persepsi, memori dan berfikir. Maka seorang da'i harus memiliki wawasan psikologi, dalam hal ini psikologi dakwah. Psikologi dakwah diperlukan bukan hanya untuk menguraikan perilaku terukur mad’u, tetapi juga untuk memprediksi dan mengendalikan tingkah laku masyarakat. Dengan wawasan psikologi dakwah, maka da'i bisa memperkirakan seberapa besarkah efektivitas dakwahnya sebagai stimulus yang direspon oleh masyarakat mad’u. Dengan wawasan psikologi dakwah, da'i ketika memprogram dakwah sudah dapat menentukan metode, media yang dipandang pas bagi mad’u.
Selama ini banyak orang yang menyatakan tidak dapat berdakwah karena tidak bisa berpidato. Kesalahan konsep diri ini disebabkan karena kesalahan persepsi tentang dakwah. Da'i bisa perorangan, kelompok, lembaga bahkan negara. Demikian juga mad’u bisa seorang, sekelompok orang, masyarakat luas, lembaga dan bahkan bangsa. Kelompok masyarakat bermasalah membutuhkan da'i yang bisa mendekatinya secara individual dengan pendekatan conseling agama (irsyad an-nafsiy). Masyarakat birokrasi memerlukan da'i yang menguasai psikologi perburuhan dan psikologi administrasi, dan mereka tidak mesti harus bertatap muka, tetapi dakwahnya cukup diwujudkan dalam sistem manajemen dan administrasi.
Saya kira berdakwah kepada kelompok masyarakat terdekat adalah keluarga yang dikenal sebagai masyarakat kecil . Dan berdakwah atau mengajak anggota keluarga ke jalan yang benar atau yang diridhai Allah SWT adalah sangat penting, dan tentu memerlukan metode yang pas atau jitu sehingga dakwah yang disampaikan mempunyai nilai yang bermakna. Allah SWT berfirman dalam surat at-Tahriim (66) ayat 6 :
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Berangkat dari sinilah, sejatinya orangtua berperan aktif di dalam membina keluarga dengan menanamkan pendidikan agama sejak dini agar dalam hidup dan kehidupan anaknya sebagai anggota keluarga berjalan dengan baik dan senantiasa dalam ridha Allah SWT tentunya.
Di zaman yang semakin sibuk, orangtua dan tak jarang keduanya (ayah dan ibu), bekerja lebih keras dan lebih lama di luar rumah, sehingga mereka sudah kehabisan tenaga untuk menghabiskan waktu bersama anaknya. Banyaknya pilihan media juga cenderung membuat orangtua membiarkan anaknya “didakwahi” oleh film, acara TV, musik, buku, komik, internet, dan game yang belum tentu sesuai perkembangan usia mereka dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan orangtua kepada anaknya.
Karena “kesibukan”, orang tua mengalihkan kepada guru di sekolah yang diyakini dapat membimbing anaknya. Maka peran gurulah yang diharapkan dapat memberikan penanaman pendidikan agama dengan berbagai metode pengajaran dan “dakwah” kepada murid-muridnya.
Dalam berdakwah, ada salah satu metode yang sangat menarik dan cukup mendapat perhatian dari mad'u (audiens) sekarang ini, yaitu metode bercerita (storytelling). Saya kira tidak ada salahnya berdakwah dengan metode bercerita, seperti dalam bentuk cerpen atau pun novel. Dalam ilmu dakwah, metode ini dikenal sebagai Da'wah bil Qashash atau Da'wah bil Hikayah, artinya berdakwah dengan cara bercerita. Kata qashash yang bermakna kisah atau cerita dengan segala derivasinya diungkap dalam Al-Quran tidak kurang dari 18 (delapan belas) kali. Dan hampir semua kata tersebut ditujukan agar kita mau mengambil pelajaran atau hikmah dari kisah-kisah tersebut. Seperti dalam surat Huud (11) ayat 120 Allah SWT berfirman :
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”. Ayat ini menegaskan bahwa fungsi kisah atau cerita adalah untuk menambah keteguhan hati. Dalam ayat lain Allah SWT juga menerangkan dalam surat Yusuf (12) ayat 111:
”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” Di sini, Allah SWT menegaskan bahwa kisah berfungsi sebagai sarana pencerahan akal atau intelektual.
Kalau kita cermati hampir sepertiga Al-Quran itu isinya adalah al-qashash (cerita-cerita yang mengandung hikmah). Hal ini sesuai dengan tabiat manusia sebagai Homo narrans (mahluk yang suka bercerita dan suka mendengarkan cerita). Jadi, teknik dakwah dengan bercerita itu sesui dengan fitrah manusia sebagai homo narrans.
Di antara kelebihan dakwah dengan teknik qashash (bercerita) adalah tidak terkesan ”menggurui” tapi lebih banyak mengajak berpikir. Allah SWT memerintahkan agar dakwah itu dilakukan dengan bijaksana, menggunakan kalimat-kalimat santun, dan jangan mengejek tapi harus mengajak. Seperti dalam surat An-Nahl (16) ayat 125 dijelaskan :
”Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Bertolak dari analisis ini bisa kita simpulkan bahwa berdakwah dengan cara bercerita dalam bentuk cerpen (cerita pendek), cerber (cerita bergambar), novel, dan sebagainya adalah dibolehkan selama kandungan cerita tersebut mengandung hikmah atau pelajaran bagi kehidupan dan tidak mengandung anjuran pada kemaksiatan.
a. Storytelling
George W. Burns, seorang ahli psikoterapi yang berpengalaman di bidang psikologi klinis memaparkan bahwa cerita dapat memiliki kekuatan yang dahsyat, yakni menumbuhkan sikap disiplin, membangkitkan emosi, memberi inspirasi, memunculkan perubahan, menumbuhkan kekuatan pikiran-tubuh, dan bahkan menyembuhkan.
Bercerita (storytelling) menawarkan pilihan yang menyenangkan hati anak-anak dan bahkan orang dewasa. Topik apapun menjadi hidup saat disampaikan dalam bentuk cerita. Di samping itu, orang-orang di semua usia mudah mengingat informasi jika disandikan dalam cerita. Menurut Linda Campbell, pakar psikologi dan pendidikan, banyak di antara kita akan menyatakan, bahwa kita bukan story teller tapi kita sebenarnya storyteller! Masing-masing dari kita memiliki cerita dari kehidupan kita, kita suka berbagi cerita, suka bercanda, menceritakan mimpi-mimpi, atau bahkan menggosip suatu kegiatan yang menjadi dasar untuk cerita rakyat/legenda di masa mendatang.
Menurut Nina Armando, cerita yang dikisahkan pada anak-anak dapat dijadikan kesempatan emas bagi orangtua untuk menyampaikan nilai-nilai, semangat, motivasi, dan sifat-sifat positif lainnya. Saat didongengi orangtua adalah saat-saat yang indah untuk dikenang anak dan menjadi pengalaman istimewa yang tak mudah dilupakan.
Roswitha Ndraha dalam acara Mational Counseling & Healing Conference mengatakan, metode cerita pada dasarnya merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan oleh orang tua untuk menjaga keakraban dengan anaknya. Masih banyak orang tua yang bingung untuk bisa mengakrabkan diri dengan anak-anaknya.
Banyak sumber yang bisa kita peroleh untuk menjadi bahan cerita yang dapat kita sampaikan kepada anak seperti dari buku, majalah, surat kabar, internet, dan sebagainya. Menurutnya, metode cerita ini juga cukup efektif jika kita ingin menanamkan disiplin pada anak, menanamkan nilai-nilai yang benar seperti mengenal akan Tuhan, mengenalkan mereka dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan, lingkungan, dan sebagainya. Dia juga tidak setuju, jika orang tua menanamkan disiplin kepada anak dengan kekerasan seperti memukul, memarahi, dan sebagainya.
Bercerita (storytelling) tidak sama dengan membacakan cerita (reading). Bercerita lebih dari sekedar membacakan cerita; dalam bercerita, kita juga menghidupkan kembali kisah (entah itu tulisan atau lisan) dengan menggunakan beragam keterampilan dan alat bantu. Dasar-dasar ilmu peran, seperti pengubahan suara, ekspresi wajah, gerak tubuh, menjadi sangat penting dalam proses bercerita. Pencerita juga melibatkan sebanyak mungkin. Meskipun tidak menjadi kewajiban, penggunaan media bantu, seperti gambar sederhana, musik pengiring, atau model (misalnya boneka atau rumah-rumahan) dapat membantu menghidupkan kisah yang kita sampaikan dalam benak pendengarnya.
Namun yang paling membedakan bercerita dari membacakan cerita adalah dimungkinkannya interaksi antara pencerita dan pendengar dari awal hingga akhir aktivitas bercerita. Dalam hubungan orangtua-anak misalnya, anak bisa mengusulkan atau memilih cerita tertentu yang ingin ia dengarkan pada saat itu. Ketika aktivitas bercerita tengah berlangsung, anak juga dapat memberi masukan kepada pencerita, bisa dari dari segi teknis (cara bercerita) atau dari isi cerita itu sendiri. Setelah cerita selesai, interaksi tetap bisa dipertahankan, misalnya dengan memandu anak untuk mengambil hikmah dari cerita tersebut.
Jika keterampilan, alat bantu, dan interaksi yang telah disebut di atas digunakan dengan baik, banyak manfaat yang bisa diperoleh anak (dan juga orangtua atau guru sebagai pencerita) dari aktivitas bercerita.
b. Fungsi dan tujuan bercerita
Fungsi bercerita bagi anak, antara lain :
• Menanamkan nilai-nilai pendidikan yang baik
• Mengembangkan imajinasi anak
• Membangkitkan rasa ingin tahu
• Memahami konsep ajaran Islam secara emosional.
Adapun tujuan bercerita dalam pendidikan anak, menurut Asnelly Ilyas adalah menanamkan akhlak Islamiyah dan perasaan ketuhanan kepada anak untuk senantiasa merenung dan berfikir sehingga dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
c. Aspek-aspek bercerita
Salah satu unsur penting dalam seluruh rangkaian dalam efektivitas yang ditempuh dalam upaya dakwah pada anak melalui bercerita adalah memilih tema cerita yang baik untuk disampaikan kepada anak. Tentunya dengan memperhatikan beberapa aspek, seperti :
• Aspek religius (agama)
Dalam memilih tema cerita yang baik, aspek agama ini tidak dapat diabaikan mengingat tema cerita yang dipilih merupakan sarana pembentukan moral. Bagi kalangan keluarga muslim, tema cerita yang dipilih tidak hanya karena gaya cerita saja, melainkan harus sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam.
• Aspek pedagogik (pendidikan)
Pertimbangan aspek pendidikan dalam memilih tema cerita juga penting, sehingga dari tema cerita diperoleh dua keuntungan, yaitu menghibur dan mendidik anak dalam waktu yang bersamaan. Di sinilah letak peran pencerita (storyteller) untuk dapat memilih tema cerita dan menyampaikan pesan-pesan didaktis dalam cerita baik secara langsung atau tidak terimplisit dalam tema cerita tersebut.
• Aspek psikologis
Aspek psikologis menjadi pertimbangan dalam memilih tema cerita dimana akan membantu perkembangan jiwa anak, mengingat anak adalah manusia yang sedang berkembang. Maka secara kejiwaan, tema cerita pun disesuaikan dengan kemampuan berfikir, kestabilan emosi, kemampuan berbahasa serta tahap perkembangan pengetahuan anak dan menghayati cerita tersebut.
Dengan fungsi, tujuan dan aspek-aspek bercerita (storytelling) di atas, diharapkan dakwah dengan metode bercerita yang disampaikan pun menjadi suatu hal yang menyenangkan, sehingga tujuan dakwah itu sendiri pun ikut tercapai yaitu perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang tidak perpuji menjadi masyarakat yang islami baik untuk diri sendiri maupun untuk lingkungannya.
Dari landasan ini, penulis akan meneliti berdakwah melalui kisah cerita dalam penanaman pendidikan agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan Jakarta. Dengan kesimpulan sementara (hipotesa) bahwa guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan ini sering memberikan dakwah dan bimbingan pengajaran kepada murid-muridnya sebagai proses pembelajaran.
3. Metodologi
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dan melakukan analisis data.
a. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta kelas 1 s/d kelas 6 berjumlah 18 orang. Ada pun sampel yang dipakai adalah guru-guru yang mengajar materi Pendidikan Agama Islam berjumlah 18 orang tersebut mencakup pelajaran Aqidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, Fiqih, dan Quran Hadis.
b. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi, penulis melakukan observasi langsung ke sekolah untuk mendapatkan gambaran konkrit pelaksanaan metode bercerita yang dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta.
2. Angket, kuesioner yang ditujukan secara tertulis kepada sekumpulan oran untuk mendapat jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan penulis.
Angket ini diberikan kepada seluruh guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta yang dijadikan responden penelitian, dan pertanyaan yang ada dalam angket ini untuk mengetahui tanggapan para guru tentang metode bercerita sebagai dakwah dalam proses belajar mengajar.
c. Teknik Analisa Data
Dalam analisa ini penulis memperoleh data melalui observasi dan angket kemudian dianalisa dan disimpulkan. Setelah dipelajari, data tersebut direduksi dengan cara membuat abstraksi serta dipindahkan jawaban responden dalam tabulasi dan disusun secara rinci dalam bentuk tabel kemudian perhitungan rata-rata diukur dengan menggunakan rumusan distribusi frekuensi, yaitu , dimana P adalah prosentase; F adalah frekuensi; dan N adalah jumlah individu.
4. Analisis
Para guru di Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta menggunakan metode bercerita dalam memberikan pendidikan agama Islam pada anak didiknya. Dalam menyampaikan cerita, guru mengambil sumber dari al-quran dan hadist, buku-buku cerita bergambar, majalah atau yang berasal dari pengalaman dan pengamatan guru dengan memperhatikan kondisi anak didik. Tujuan ide bercerita itu sendiri berupa nasehat guna memperbaiki sikap anak didik, diharapkan agar anak didik tidak merasa dinasehati dan dilarang oleh guru.
Dominan anak yang berusia 6-7 tahun ini memiliki ketertarikan pada cerita-cerita pendek yang berkisah tentang peristiwa yang sering dialaminya atau dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Hal ini sangat membantu perkembangan keagamaannya, karena pada usia tersebut condong untuk meniru. Maka setiap cerita yang disampaikan, didengar, dilihat dan dibaca oleh anak hendaknya mempunyai mutu dan nilai-nilai pedagogis dan religius dengan tidak mengabaikan psikologis anak. Dan diharapkan juga agar jangan sampai mereka menemukan tauladan yang tidak baik dalam cerita-cerita tersebut.
Dalam kegiatan proses belajar mengajar, hal yang terpenting dan utama tergantung dari pesan seorang guru dalam mengekspresikan cerita. Para guru Madrasah Ibtidaiyah di Madrasah Pembangunan UIN Jakarta diberi kebebasan untuk mengekspresikan cerita sesuai dengan keadaan lapangan selama tidak menyimpang dari aspek pedagogis dan prinsip-prinsip belajar mengajar di Madrasah tersebut.
C. Hasil Penelitian
Dari analisa data yang saya peroleh bahwa :
1. Ketertarikan siswa terhadap materi pendidikan agama Islam yang disampaikan melalui metode bercerita menunjukkan sangat tinggi mencapai angka 83.33%. Dan hanya 16.67% yang cukup tertarik dengan metode cerita. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada yang menunjukkan tidak tertarik dengan metode cerita.
2. Penggunaan media atau alat peraga dalam menerangkan pelajaran agama Islam sering dilakukan dengan prosentase 44.44%, dan kadang-kadang pun media atau alat peraga digunakan dengan prosentase 38.89%. ada juga yang selalu menggunakan media atau alat peraga dengan prosentase 16.67%. Biasanya media atau alat peraga yang dipakai berupa topi, papan tulis dan spidol, penggaris, boneka, sapu dan sebagainya.
3. Aktivitas guru sebelum bercerita lebih dominan memilih tema cerita yang sesuai materi dakwah yang disampaikan mencapai angka 55.56%, di samping ada juga yang mencatat hal-hal yang baik (point-nya saja) dengan prosentase 27.78%.
4. Jenis penyampaian materi cerita lebih dominan dalam cerita tokoh dalam al-quran dengan prosentase 55.56% seperti cerita Luqmanul Hakim dan sebagainya, di samping juga ada materi cerita nabi hanya mencapai angka 33.33%.
5. Kesenangan anak dalam mendengarkan cerita mencapai angka 66.67%, di samping juga ada anak yang cukup senang mendengarkan cerita dengan prosentase 33.33%. Akan tetapi tidak ada satu pun yang tidak senang mendengarkan cerita.
6. Keaktifan siswa dalam kegiatan bercerita didominasi cukup aktif dengan prosentase 44.44%, selain ada juga yang kurang aktif hanya mencapai 22.22%. kemungkinan disebabkan kebosanan dan cerita yang sangat datar.
7. Keadaan anak ketika guru bercerita selalu memperhatikan dengan prosentase 66.67%, di samping juga ada yang kadang-kadang memperhatikan tetapi sedikit sekali dengan prosentase 11.11%.
8. Penggunaan bahasa dalam menyampaikan materi cerita didominasi bahasa Indonesia. Karena anak didik kelas 1 s/d 6 belum ada yang mampu memahami bahasa daerah bahkan bahasa asing tentunya kecuali sedikit sekali. Akan tetapi agar tercapai pesan cerita yang disampaikan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
9. Penggunaan tempat dalam bercerita sering di dalam kelas dengan prosentase 66.66%, terkadang juga ada yang di luar kelas yaitu di masjid, biasanya dakwah yang disampaikan setelah sholat berjama'ah Dhuha dan sholat Dzuhur hanya 33.34% saja.
10. Lamanya penyampaian cerita dominannya 20 menit sebesar 55.55%. Di madrasah ini 1 jam pelajaran selama 35 - 40 menit. Sehingga waktu yang tersisa dilakukan untuk tanya jawab, konsultasi, curhat dan sebagainya, sehingga suasana kegiatan dakwah menjadi nyaman dan menyenangkan. Meskipun ada juga lama penyampaian cerita 15 menit sebesar 33.34% dan 35 menit sebesar 11.11%.
11. Pemahaman anak dengan menggunakan metode bercerita sangat tinggi mencapai 77.77% dan ada juga yang cukup paham mencapai 22.23%.
12. Kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan sangat tinggi mencapai 88.89%.
13. Kemampuan anak melaksanakan pesan-pesan agama yang disampaikan melalui metode bercerita sangat tinggi mencapai 66.66% di samping ada juga yang kadang-kadang melaksanakan pesan-pesan agama sebesar 33.34%. Dalam pengamatan penulis, murid-murid melaksanakan pesan-pesan agama dengan berupa salaman sambil tersenyum kepada guru yang dijumpainya di mana saja sebagai penghormatan kepada guru.
14. Peran sekolah dalam mengembangkan potensi beragama untuk anak juga sangat tinggi dengan menyediakan sarana dan prasana, buku-buku, dan mengunjungi tempat-tempat yang memperlihatkan kekuasan Tuhan melalui outbond, bazaar, baksos (bakti sosial) dan sebagainya.
15. Perasaan guru dalam memberikan dakwah melalui kisah cerita sangat puas dengan prosentase 55.55%, di samping juga ada yang puas hanya 27.78% dan cukup puas hanya 16.67%. Dan tidak ada satu pun guru yang merasa tidak puas dengan metode cerita ini.
D. Kesimpulan
Dari deskripsi dan analisa penelitian tentang berdakwah melalui kisah cerita untuk penanaman pendidikan agama Islam ini, penulis menyimpulkan bahwa :
1. teori komunikasi sebagai taktik operasionalnya dalam strategi komunikasi dapat diterapkan dalam dakwah, dan menjadi metode yang memiliki gaya dan kelebihan tersendiri dalam menyampaikan pesan kepada audiens.
2. semua teori komunikasi yang telah dikembangkan oleh pakar komunikasi dapat diterapkan dalam dakwah khususnya narrative theory sebagai dakwah bil qishah atau dakwah bil hikayah.
3. penerapan teori komunikasi khususnya narrative theory yang dikembangkan oleh Walter Fisher (1987) dapat dilakukan dan dikembangkan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam melalui dakwah dengan kisah cerita (message) yang menyajikan cerita-cerita bersifat umum yang bernuansa Islami membuat anak didik (audiens) memperhatikan dan mendengarkan dengan tenang ketika guru (komunikator) menyampaikan dakwah yang didukung oleh alat peraga dan media.
E. Saran
Sangat diharapkan, melalui penelitian sederhana ini akan membuka pikiran dan menambah wawasan bagi penulis pribadi khususnya tentang teori ilmu komunikasi dan penerapannya dalam dakwah (islamic communication). Ternyata dakwah, tidak hanya dilakukan dengan penyampaian ceramah di podium atau di mimbar besar, akan tetapi melalui kisah cerita dengan mengerahkan kemampuan improvisasi, ekspresi dan kreasi yang ada, dapat memberikan kontribusi makna dan pencerahan kepada siapa saja. Sejatinya sarat dengan pesan kebaikan demi menjalani hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Wallahu a'lam bisshowab...

Daftar Pustaka
Abdullah, J. Memilih Dongeng Islam Pada Anak, Jakarta: Amanah, 1997
Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, Cet. III
Al-Quran al-Karim
Armando, Nina, Kekuatan Dahsyat Cerita, Majalah Ummi, Edisi No. 7/XVII November 2005
Burns, George W. 101 Kisah yang Memberdayakan, Bandung: Kaifa, 2001
Campbell, Linda, Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelegences, tt.
Communication Capstone, Theory workbook. 2001, (http://www.uky.edu/~drlane/caps tone /orgcomm), diakses 25 Desember 2008
Ghazali, Bahri, Da'wah Komunikatif, Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da'wah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997
Ilyas, Asnelly, Mendambakan Anak Shaleh, Bandung: Al-Bayan, 1995
Ndraha, Roswitha, Menanamkan Disiplin pada Anak Lewat Cerita, sumber : http://www.sinarharapan.co.id/ berita, 2007, diakses 25 Desember 2008
Miller, Katherine, Communication Theories, Perspective, Processes, and Contexts, (International Edition), New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2005
Mubarak, Ahmad, Urgensi Memperbaharui Paradigma Dakwah, www.mubarak institute.com
Munir, M. Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2007
Sugihastuti, Serba-serbi Cerita Anak, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Sudjana, Matoda Statistika, Bandung: Tarsito, Cet. VI, 2002,
Syukrisnawati, Diah, Seni Islam sebagai Media Pendidikan, Jakarta: PGTK Darul Qalam, 1994
Takwin, Bagus, Psikologi Naratif: Membaca Manusia sebagai Kisah, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Yusup, Pawit M. Teori-teori Komunikasi Kelompok dan Organisasional Kontekstual, 2007 sumber: http://bdg.centrin.net.id/~pawitmy diakses 25 Desember 2008



Tabel
Tabel 1. Ketertarikan siswa terhadap materi yang diajarkan melalui metode bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Tertarik 15 83.33%
Cukup Tertarik 3 16.67%
Kurang Tertarik - -
Tidak Tertarik - -
Jumlah 18 100%

Tabel 2. Penggunaan media atau alat peraga dalam menerangkan pelajaran agama Islam

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Selalu 3 16.67%
Sering 8 44.44%
Kadang-kadang 7 38.89%
Tidak Pernah - -
Jumlah 18 100%

Tabel 3. Aktivitas guru sebelum bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Mempersiapkan diri 3 16.66%
Mencatat hal-hal yang baik 5 27.78%
memilih tema cerita yang baik 10 55.56%
Lain-lain - -
Jumlah 18 100%

Tabel 4. Jenis penyampaian materi cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Cerita nabi 6 33.33%
cerita tokoh dalam al-qur'an 10 55.56%
cerita binatang 2 11.11%
Cerita tumbuh-tumbuhan
Jumlah 18 100%

Tabel 5. Kesenangan anak dalam mendengarkan cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Sangat senang 12 66.67%
Cukup senang 6 33.33%
Kurang senang
Tidak senang
Jumlah 18 100%


Tabel 6. Keaktifan siswa dalam kegiatan bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Sangat aktif 6 33.34%
Cukup aktif 8 44.44%
Kurang aktif 4 22.22%
Tidak aktif
Jumlah 18 100%

Tabel 7. Keadaan anak ketika guru bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Selalu memperhatikan 12 66.67%
Cukup memperhatikan 4 22.22%
Kadang-kadang memperhatikan 2 11.11%
Tidak memperhatikan
Jumlah 18 100%

Tabel 8. Penggunaan bahasa dalam menyampaikan materi cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Bahasa daerah
Bahasa asing
Bahasa Indonesia 18 100.00%
lain-lain
Jumlah 18 100%

Tabel 9. Penggunaan tempat dalam bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
di halaman sekolah
di dalam kelas 12 66.66%
di luar kelas 6 33.34%
lain-lain
Jumlah 18 100%

Tabel 10. Lamanya penyampaian cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
15 menit 6 33.34%
20 menit 10 55.55%
35 menit 2 11.11%
40 menit
Jumlah 18 100%


Tabel 11. Pemahaman anak dengan menggunakan metode bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Paham 14 77.77%
Cukup paham 4 22.23%
kurang paham
tidak paham
Jumlah 18 100%

Tabel 12. Kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
mampu 16 88.89%
Cukup mampu 2 11.11%
kurang mampu
tidak mampu
Jumlah 18 100%

Tabel 13. Kemampuan anak melaksanakan pesan-pesan agama yang disampaikan melalui metode bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Melaksanakan 12 66.66%
tidak melaksanakan
kadang-kadang 6 33.34%
lain-lain
Jumlah 18 100%

Tabel 14. Peran sekolah dalam mengembangkan potensi beragama untuk anak

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Menyediakan sarana dan prasarana
menyediakan buku-buku untuk anak
Mengunjungi tempat-tempat yang memperlihatkan kekuasaan Tuhan
semua dilakukan 18 100.00%
Jumlah 18 100%

Tabel 15. Perasaan guru dalam memberikan dakwah melalui kisah cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
sangat puas 10 55.55%
puas 5 27.78%
cukup puas 3 16.67%
tidak puas
Jumlah 18 100%