BERDAKWAH MELALUI KISAH CERITA UNTUK PENANAMAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Abstrak
(Context) Zaman yang semakin sibuk membuat orangtua, bekerja lebih keras dan lebih lama di luar rumah, sehingga mereka sudah kehabisan tenaga untuk menghabiskan waktu bersama anaknya. Banyaknya pilihan media juga cenderung membuat orangtua membiarkan anaknya ’didongengi’ oleh film, acara TV, musik, buku, komik, internet, dan game yang belum tentu sesuai perkembangan usia mereka dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan orangtua kepada anaknya. Padahal bercerita mempunyai dampak yang lebih buat anak dibandingkan dengan media-media yang lebih modern. Karena “kesibukan”, orangtua mengalihkan kepada guru di sekolah yang diyakini dapat membimbing anaknya. Lalu peran gurulah yang diharapkan dapat memberikan penanaman pendidikan agama dengan berbagai metode pengajaran dan “dakwah” kepada murid-muridnya.
(Question) Apakah teori komunikasi sebagai taktik operasionalnya dalam strategi komunikasi dapat diterapkan di dalam dakwah juga? Apakah narrative theory dapat diterapkan dalam dakwah? Dan bagaimana penerapan teori tersebut yang dibangun dalam ilmu komunikasi untuk dakwah?
(Hypothesis) Peneliti berasumsi guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan ini sering memberikan dakwah dan bimbingan pengajaran kepada murid-muridnya sebagai proses pembelajaran.
(Theory) Teori yang difokuskan dalam penelitian ini adalah teori Naratif yang dikembangkan oleh Walter Fisher (1987), disebutkan bahwa manusia seperti “homo narrans” atau “storytelling animal”. Paradigma naratif secara sederhana menjelaskan bagaimana semua bentuk komunikasi yang naratif, yang berarti bahwa kita berkomunikasi dalam bentuk cerita, atau memberikan suatu laporan mengenai peristiwa-peristiwa yang ada.
(Methodology) Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dan melakukan analisis data. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta kelas 1 s/d kelas 6 berjumlah 18 orang. Sampel yang dipakai adalah guru-guru yang mengajar materi Pendidikan Agama Islam berjumlah 18 orang tersebut Teknik pengumpulan data dengan observasi dan angket. Dan teknik analisa data dengan cara membuat abstraksi serta dipindahkan jawaban responden dalam tabulasi dan disusun secara rinci dalam bentuk tabel kemudian perhitungan rata-rata diukur dengan menggunakan rumusan distribusi frekuensi.
(Analysis) Para guru di Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta menggunakan metode bercerita dalam memberikan pendidikan agama Islam pada anak didiknya dengan mengambil sumber dari al-quran dan hadist, buku-buku cerita bergambar, majalah atau yang berasal dari pengalaman dan pengamatan guru dengan memperhatikan kondisi anak didik. Tujuan ide bercerita itu sendiri berupa nasehat guna memperbaiki sikap anak didik, diharapkan agar anak didik tidak merasa dinasehati dan dilarang oleh guru.

(Conclusion) Berdakwah dengan cara bercerita dalam bentuk cerpen, cerber, novel, dan sebagainya adalah dibolehkan selama kandungan cerita tersebut mengandung hikmah atau pelajaran bagi kehidupan dan tidak mengandung anjuran pada kemaksiatan. Dan penerapan teori komunikasi khususnya narrative theory yang dikembangkan oleh Walter Fisher (1987) dapat dilakukan dan dikembangkan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam melalui dakwah dengan kisah cerita.

A. Pendahuluan
Ilmu komunikasi secara bertahap telah menelusuri sejarah yang panjang. Ia adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial (social sciences) yang bersifat multidisipliner. Pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk mengamati manusia dari berbagai ilmu sosial telah banyak cara menjelaskan proses komunikasi.
Bila seseorang dalam berkomunikasi akan berhasil jika memahami ilmu-ilmu yang lainnya, seperti psikologi misalnya. Ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain yang ada di hadapannya, maka ia akan melihat wajahnya. Wajah seseorang akan memberikan banyak makna (mungkin 1001 makna) yang mendasar dan dapat memasuki dalam jiwanya, maka lewat wajahnya seseorang akan mengerti sedang berhadapan dengan siapa. Apakah berhadapan dengan orang yang sedang senang, sedih, sakit, berduka dan lain sebagainya. Sehingga ketika sedang berkomunikasi tidak menemukan kesalahan. Untuk itulah psikologi digunakan dalam berkomunikasi.
Sosiologi juga dibutuhkan dalam komunikasi. Dimana setelah pergaulan manusia semakin bertambah antara satu dengan yang lainnya, disadari bahwa masyarakat itu mempunyai penghidupan sendiri. Adanya masyarakat karena perhubungan jiwa dan paham timbal balik antara manusia dengan sesamanya, sehingga hidupnya dikuasai oleh beberapa norma dan hukum yang perlu diketahui oleh masyarakat itu sendiri.
Maka dari itu, dalam komunikasi seseorang seharusnya memahami strategi komunikasi yang harus digunakan, karena berhasil tidaknya kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh strategi komunikasi .
Komunikasi mengandung sifat informatif dan juga sifat persuasif. Sifat informatif artinya bahwa komunikasi merupakan upaya memberikan pengetahuan agar orang lain tahu dan mengerti. Sifat persuasif artinya bahwa komunikasi merupakan upaya mempengaruhi orang lain agar orang lain mau menerima dan bersedia mengikuti ajaran paham atau keyakinan untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu tindakan atau kegiatan sesuai dengan apa yang disampaikan komunikatornya.
Dari dua sifat komunikasi ini, mempunyai kesamaan yang mendasar dalam dakwah (islamic communication), sekalipun terdapat perbedaan juga. Dakwah yang sering disebut tabligh sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan atau ajaran agama Islam. Dan di dalam kegiatan tersebut terdapat unsur-unsur ajakan, seruan, atau panggilan agar orang yang dipanggil berkenan mengubah sikap dan perilakunya sesuai dengan ajaran agama Islam yang dipeluknya. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanannya yakni komunikasi bermuatan pesan umum, sedangkan dakwah berkonotasi pesan khusus ajaran agama Islam.
Islam sebagai agama sangat menekankan adanya kehidupan secara kolektif, artinya manusia senantiasa memerlukan orang lain. Islam pun menekankan adanya hubungan atau komunikasi secara rutin dan terus menerus sepanjang manusia selalu menjalankan tugas-tugas hidupnya baik secara vertikal maupun horizontal. Komunikasi vertikal mengandung makna hubungan manusia sebagai makhluk dengan Tuhan (sang Pencipta), sedangkan komunikasi horizontal memiliki pengertian hubungan makhluk dengan makhluk lain termasuk manusia. Dengan kata lain, bahwa pemahaman ajaran Islam tidak terbatas kepada pengertian ibadah mahdhah (shalat, puasa, zakat dan haji) melainkan terfokus kepada seluruh aspek kehidupan manusia. Artinya Islam sebagai ajaran moral yang membentuk seluruh perilaku masyarakat dengan baik, sehingga terwujud kondisi masyarakat yang baik dan islami. Dan tentunya perubahan tingkah laku yang terjadi pada masyarakat karena adanya kegiatan dakwah yang diterima secara sepenuhnya.
Jadi, hakekat komunikasi dan dakwah mempunyai persamaan, yaitu proses mengupayakan perubahan prilaku (tingkah laku) seseorang menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Timbul pertanyaan, apakah teori komunikasi sebagai taktik operasionalnya dalam strategi komunikasi dapat diterapkan di dalam dakwah juga? Teori komunikasi apa saja yang dapat diterapkan dalam dakwah? Dan bagaimana penerapan teori tersebut yang dibangun sebagai ilmu komunikasi untuk dakwah?
Melalui buku Katherine Miller berjudul Communication Theories yang memiliki “segudang” teori komunikasi, penulis membatasi hanya Theories of Symbolic Organization pada Chapter 6. Penulis akan mendeskripsikan dan menganalisa penerapan teori ini dalam dakwah dengan segala keterbatasan pengetahuan atau referensi yang ada dan juga waktu yang tersedia untuk penulisan makalah ini.
B. Pembahasan
1. Teori Komunikasi
a. Schema Theory
Wick (1992) menyatakan bahwa Teori skema menunjukkan manusia sebagai pemroses informasi yang aktif. Dan pemikiran skematis berasal dari kebutuhan untuk mengorganisasikan pemikiran terhadap tujuan ekonomi kognitif. Untuk memahami teori ini ada dua pertanyaan yang diajukan, yaitu apa dan bagaimana.
b. Attribution Theory
Attribution Theory merupakan pemahaman terhadap cara untuk menjawab pertanyaan “how”. Teori ini dikembangkan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967), dan Edward Jones (1976).
Atribusi merupakan hasil olah kognisi seseorang dengan memanfaatkan informasi yang ada di lingkungan. Bahkan Hewstone & Moscovici (1998) menyatakan bahwa atribusi pada seting sosial adalah bersumber pada representasi sosial. Atribusi tidak hanya hasil pikir individu semata melainkan pengaruh dari wacana atau representasi sosial yang berkembang di masyarakat.
Teori ini berkembang dalam psikologi sosial terutama sebagai senjata yang digunakan dalam menjawab berbagai permasalahan terkait dengan persepsi sosial. Misalnya, jika seorang berlaku agresif, apakah hal ini berarti ia seorang yang agresif (karakteristik individu) ataukah karena situasi yang mengharuskan ia berbuat demikian (situasional)? Tentu saja atribusi sangat berhubungan dengan informasi-informasi yang memang digunakan dalam menarik kesimpulan.
Menurut Bradbury & Fincham (1990), terdapat perbedaan yang signifikan dalam cara seseorang melihat perilaku pasangannya pada pasangan yang bahagia dan tidak. Pada pasangan yang tidak bahagia, perilaku yang dianggap negatif atau tidak diinginkan pasangan akan dilihat sebagai; (a) karakteristik pasangan, berarti atribusi internal; (b) stabil, berlangsung terus menerus; (c) global atau dianggap sama pada aspek-aspek lain (generalisasi).
Sementara perilaku yang menyenangkan, dipandang sebagai; (a) situasional atau atribusi eksternal; (b) tidak stabil, berlaku sekali waktu; (c) merupakan aspek spesifik.
Weiner (1986) membagi attribution theory, yaitu:
1. Internal Attribution
Internal Attribution memposisikan sebab tingkah laku khusus dalam aktor sosial. Misalnya, jika teman kita terlambat kita akan berpikir bahwa dia malas.
2. External Attribution
External Attribution menempatkan sebab tingkah laku dari dalam situasi. Misalnya, jika teman kita terlambat, kita berpikir bahwa mungkin dia mengalami kendala di jalan.
Menurut penulis, kalau boleh dikatakan bahwa atribusi dalam metode dakwah disebut Uswatun Hasanah/Keteladanan. Ada empat sifat/karakter Rasulullah yang digunakan sebagai dakwah beliau yang dapat diteladani dan diterapkan dalam kehidupan, yaitu : shiddiq (transparansi), amanah (kompetensi), tabligh (komunikasi), fathanah (inteligensi).
Dakwah dengan uswatun hasanah adalah dakwah dengan memberikan contoh yang baik melalui perbuatan nyata yang sesuai dengan kode etik dakwah. Bahkan, uswatun hasanah adalah salah satu kunci sukses dakwah Rasulullah.
Keteladanan yang aplikatif (amaliyah) mempunyai pengaruh yang besar dan sangat kuat dalam penyebaran prinsip dan fikrah. Efektivitas uswatun hasanah sebagai metode dakwah dengan maksud agar mad’u dapat meresap dengan mudah dan cepat serta merealisasikan seruan dakwah.
c. Narrative Theory
Dalam teori Naratif yang dikembangkan oleh Walter Fisher (1987), disebutkan bahwa manusia seperti “homo narrans” atau “storytelling animal”. Paradigma naratif secara sederhana menjelaskan bagaimana semua bentuk komunikasi yang naratif, yang berarti bahwa kita berkomunikasi dalam bentuk cerita, atau memberikan suatu laporan mengenai peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang ada. Mereka yang menerima cerita ini memperkirakan validitas pesan-pesannya melalui pertimbangan nilai dan kepercayaan yang dimilikinya, dengan disesuaikan atau tidak dengan batas-batas paradigma ini.
Teori ini sangat humanistik pada asumsi-asumsi teoretiknya, karena sangat interpretatif dalam pembentukan ‘cerita’, baik dalam penerimaan oleh audiens maupun dalam kaitannya dengan aspek ruang dan waktu. Audiens pun memiliki karakter seperti itu, sehingga dalam suatu kelompok, meskipun diberi cerita yang sama, tentu akan diinterpretasikan secara tidak sama oleh orang yang berbeda.
Paradigma naratif ini merupakan teori yang sangat berguna bagi seseorang yang akan melakukan komunikasi dengan sekelompok audiens mengenai kebenaran alami dari suatu fenomena sosial, terutama untuk kasus-kasus komunikasi. Bagaimana kita sebagai komunikator bercerita kepada audiens dengan model narasi, dan pada saat yang sama audiens juga memperkirakan kredibilitas kita serta memperkirakan validitas yang kita komunikasikan tadi.
Saya kira Narrative theory dapat diterapkan dalam dakwah yang disebut dakwah bil qashash atau bil hikayah. Dakwah bil Qashash atau bil Hikayah, artinya berdakwah dengan cara bercerita.
d. Dramatism
Kenneth Burke (1897-1993) mengemukakan Dramatic Pentad sebagai konsep untuk menganalisis tindakan manusia yang tidak akan terlepas dari proses guilt (berbuat kejahatan) dan redemption (berbuat kebaikan). Burke sangat meyakini bahwa life is a drama (hidup adalah sebuah drama).
Teori ini mengklaim bahwa komunikator harus bertindak dan berperilaku seolah-olah ia sebagai aktor dalam sebuah drama, di mana mereka mencoba mencapai audiens guna menerima pandangan-pandangan dari mereka tentang kehidupan nyata. Dalam hal ini komunikator harus berupaya untuk mengenali dan mengidentifikasi kelompok audiens dengan berbagai cara untuk mendapatkan penerimaan dan masukan-masukannya.
Tampaknya teori ini mencoba menjelaskan fungsi-fungsi komunikator dalam kelompok, terutama para pemuka anggota kelompok dalam mencari pemahaman-pemahamannya dilakukan dengan mendekati audiens. Ini bukan berarti pandangan-pandangan audienslah yang dominan, namun pihak komunikator akan memanfaatkan segala cara untuk bisa berinteraksi secara langsung dengan audiens. Setidaknya ada lima unsur pokok dalam drama manusia yang serupa dengan model pendekatan kepada audiens, yakni: The act (apa yang dilakukan orang); The scene (konteks yang mengelilingi tindakan); The agent (orang yang melakukan tindakan); The purpose (tujuan yang eksplisit maupun implisit dalam tindakan), Agency (metode yang digunakan dalam bertindak).
2. Terapan Teori Komunikasi dalam Dakwah
Selama ini dakwah atau dikenal dengan istilah islamic communication lebih dipersepsikan sebagai ajakan, seruan dan tabligh. Pemahaman makna dakwah mengandung implikasi ukuran keberhasilan, dan ini jarang dikaji, sehingga sampai hari ini kita tidak dapat meneliti seberapa besar efektivitas dakwah. Ahmad Mubarak mendefinisikan bahwa dakwah adalah upaya mempengaruhi mad’u (audiens) agar mereka bertingkah laku seperti yang dikehendaki atau yang diharapkan oleh da'i (komunikan). Dengan definisi ini maka da'i membuat target perilaku yang dapat diukur pada masyarakat mad’u. Karena pekerjaan mempengaruhi merupakan aktivitas mental yang mencakup sensasi, persepsi, memori dan berfikir. Maka seorang da'i harus memiliki wawasan psikologi, dalam hal ini psikologi dakwah. Psikologi dakwah diperlukan bukan hanya untuk menguraikan perilaku terukur mad’u, tetapi juga untuk memprediksi dan mengendalikan tingkah laku masyarakat. Dengan wawasan psikologi dakwah, maka da'i bisa memperkirakan seberapa besarkah efektivitas dakwahnya sebagai stimulus yang direspon oleh masyarakat mad’u. Dengan wawasan psikologi dakwah, da'i ketika memprogram dakwah sudah dapat menentukan metode, media yang dipandang pas bagi mad’u.
Selama ini banyak orang yang menyatakan tidak dapat berdakwah karena tidak bisa berpidato. Kesalahan konsep diri ini disebabkan karena kesalahan persepsi tentang dakwah. Da'i bisa perorangan, kelompok, lembaga bahkan negara. Demikian juga mad’u bisa seorang, sekelompok orang, masyarakat luas, lembaga dan bahkan bangsa. Kelompok masyarakat bermasalah membutuhkan da'i yang bisa mendekatinya secara individual dengan pendekatan conseling agama (irsyad an-nafsiy). Masyarakat birokrasi memerlukan da'i yang menguasai psikologi perburuhan dan psikologi administrasi, dan mereka tidak mesti harus bertatap muka, tetapi dakwahnya cukup diwujudkan dalam sistem manajemen dan administrasi.
Saya kira berdakwah kepada kelompok masyarakat terdekat adalah keluarga yang dikenal sebagai masyarakat kecil . Dan berdakwah atau mengajak anggota keluarga ke jalan yang benar atau yang diridhai Allah SWT adalah sangat penting, dan tentu memerlukan metode yang pas atau jitu sehingga dakwah yang disampaikan mempunyai nilai yang bermakna. Allah SWT berfirman dalam surat at-Tahriim (66) ayat 6 :
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Berangkat dari sinilah, sejatinya orangtua berperan aktif di dalam membina keluarga dengan menanamkan pendidikan agama sejak dini agar dalam hidup dan kehidupan anaknya sebagai anggota keluarga berjalan dengan baik dan senantiasa dalam ridha Allah SWT tentunya.
Di zaman yang semakin sibuk, orangtua dan tak jarang keduanya (ayah dan ibu), bekerja lebih keras dan lebih lama di luar rumah, sehingga mereka sudah kehabisan tenaga untuk menghabiskan waktu bersama anaknya. Banyaknya pilihan media juga cenderung membuat orangtua membiarkan anaknya “didakwahi” oleh film, acara TV, musik, buku, komik, internet, dan game yang belum tentu sesuai perkembangan usia mereka dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan orangtua kepada anaknya.
Karena “kesibukan”, orang tua mengalihkan kepada guru di sekolah yang diyakini dapat membimbing anaknya. Maka peran gurulah yang diharapkan dapat memberikan penanaman pendidikan agama dengan berbagai metode pengajaran dan “dakwah” kepada murid-muridnya.
Dalam berdakwah, ada salah satu metode yang sangat menarik dan cukup mendapat perhatian dari mad'u (audiens) sekarang ini, yaitu metode bercerita (storytelling). Saya kira tidak ada salahnya berdakwah dengan metode bercerita, seperti dalam bentuk cerpen atau pun novel. Dalam ilmu dakwah, metode ini dikenal sebagai Da'wah bil Qashash atau Da'wah bil Hikayah, artinya berdakwah dengan cara bercerita. Kata qashash yang bermakna kisah atau cerita dengan segala derivasinya diungkap dalam Al-Quran tidak kurang dari 18 (delapan belas) kali. Dan hampir semua kata tersebut ditujukan agar kita mau mengambil pelajaran atau hikmah dari kisah-kisah tersebut. Seperti dalam surat Huud (11) ayat 120 Allah SWT berfirman :
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”. Ayat ini menegaskan bahwa fungsi kisah atau cerita adalah untuk menambah keteguhan hati. Dalam ayat lain Allah SWT juga menerangkan dalam surat Yusuf (12) ayat 111:
”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” Di sini, Allah SWT menegaskan bahwa kisah berfungsi sebagai sarana pencerahan akal atau intelektual.
Kalau kita cermati hampir sepertiga Al-Quran itu isinya adalah al-qashash (cerita-cerita yang mengandung hikmah). Hal ini sesuai dengan tabiat manusia sebagai Homo narrans (mahluk yang suka bercerita dan suka mendengarkan cerita). Jadi, teknik dakwah dengan bercerita itu sesui dengan fitrah manusia sebagai homo narrans.
Di antara kelebihan dakwah dengan teknik qashash (bercerita) adalah tidak terkesan ”menggurui” tapi lebih banyak mengajak berpikir. Allah SWT memerintahkan agar dakwah itu dilakukan dengan bijaksana, menggunakan kalimat-kalimat santun, dan jangan mengejek tapi harus mengajak. Seperti dalam surat An-Nahl (16) ayat 125 dijelaskan :
”Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Bertolak dari analisis ini bisa kita simpulkan bahwa berdakwah dengan cara bercerita dalam bentuk cerpen (cerita pendek), cerber (cerita bergambar), novel, dan sebagainya adalah dibolehkan selama kandungan cerita tersebut mengandung hikmah atau pelajaran bagi kehidupan dan tidak mengandung anjuran pada kemaksiatan.
a. Storytelling
George W. Burns, seorang ahli psikoterapi yang berpengalaman di bidang psikologi klinis memaparkan bahwa cerita dapat memiliki kekuatan yang dahsyat, yakni menumbuhkan sikap disiplin, membangkitkan emosi, memberi inspirasi, memunculkan perubahan, menumbuhkan kekuatan pikiran-tubuh, dan bahkan menyembuhkan.
Bercerita (storytelling) menawarkan pilihan yang menyenangkan hati anak-anak dan bahkan orang dewasa. Topik apapun menjadi hidup saat disampaikan dalam bentuk cerita. Di samping itu, orang-orang di semua usia mudah mengingat informasi jika disandikan dalam cerita. Menurut Linda Campbell, pakar psikologi dan pendidikan, banyak di antara kita akan menyatakan, bahwa kita bukan story teller tapi kita sebenarnya storyteller! Masing-masing dari kita memiliki cerita dari kehidupan kita, kita suka berbagi cerita, suka bercanda, menceritakan mimpi-mimpi, atau bahkan menggosip suatu kegiatan yang menjadi dasar untuk cerita rakyat/legenda di masa mendatang.
Menurut Nina Armando, cerita yang dikisahkan pada anak-anak dapat dijadikan kesempatan emas bagi orangtua untuk menyampaikan nilai-nilai, semangat, motivasi, dan sifat-sifat positif lainnya. Saat didongengi orangtua adalah saat-saat yang indah untuk dikenang anak dan menjadi pengalaman istimewa yang tak mudah dilupakan.
Roswitha Ndraha dalam acara Mational Counseling & Healing Conference mengatakan, metode cerita pada dasarnya merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan oleh orang tua untuk menjaga keakraban dengan anaknya. Masih banyak orang tua yang bingung untuk bisa mengakrabkan diri dengan anak-anaknya.
Banyak sumber yang bisa kita peroleh untuk menjadi bahan cerita yang dapat kita sampaikan kepada anak seperti dari buku, majalah, surat kabar, internet, dan sebagainya. Menurutnya, metode cerita ini juga cukup efektif jika kita ingin menanamkan disiplin pada anak, menanamkan nilai-nilai yang benar seperti mengenal akan Tuhan, mengenalkan mereka dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan, lingkungan, dan sebagainya. Dia juga tidak setuju, jika orang tua menanamkan disiplin kepada anak dengan kekerasan seperti memukul, memarahi, dan sebagainya.
Bercerita (storytelling) tidak sama dengan membacakan cerita (reading). Bercerita lebih dari sekedar membacakan cerita; dalam bercerita, kita juga menghidupkan kembali kisah (entah itu tulisan atau lisan) dengan menggunakan beragam keterampilan dan alat bantu. Dasar-dasar ilmu peran, seperti pengubahan suara, ekspresi wajah, gerak tubuh, menjadi sangat penting dalam proses bercerita. Pencerita juga melibatkan sebanyak mungkin. Meskipun tidak menjadi kewajiban, penggunaan media bantu, seperti gambar sederhana, musik pengiring, atau model (misalnya boneka atau rumah-rumahan) dapat membantu menghidupkan kisah yang kita sampaikan dalam benak pendengarnya.
Namun yang paling membedakan bercerita dari membacakan cerita adalah dimungkinkannya interaksi antara pencerita dan pendengar dari awal hingga akhir aktivitas bercerita. Dalam hubungan orangtua-anak misalnya, anak bisa mengusulkan atau memilih cerita tertentu yang ingin ia dengarkan pada saat itu. Ketika aktivitas bercerita tengah berlangsung, anak juga dapat memberi masukan kepada pencerita, bisa dari dari segi teknis (cara bercerita) atau dari isi cerita itu sendiri. Setelah cerita selesai, interaksi tetap bisa dipertahankan, misalnya dengan memandu anak untuk mengambil hikmah dari cerita tersebut.
Jika keterampilan, alat bantu, dan interaksi yang telah disebut di atas digunakan dengan baik, banyak manfaat yang bisa diperoleh anak (dan juga orangtua atau guru sebagai pencerita) dari aktivitas bercerita.
b. Fungsi dan tujuan bercerita
Fungsi bercerita bagi anak, antara lain :
• Menanamkan nilai-nilai pendidikan yang baik
• Mengembangkan imajinasi anak
• Membangkitkan rasa ingin tahu
• Memahami konsep ajaran Islam secara emosional.
Adapun tujuan bercerita dalam pendidikan anak, menurut Asnelly Ilyas adalah menanamkan akhlak Islamiyah dan perasaan ketuhanan kepada anak untuk senantiasa merenung dan berfikir sehingga dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
c. Aspek-aspek bercerita
Salah satu unsur penting dalam seluruh rangkaian dalam efektivitas yang ditempuh dalam upaya dakwah pada anak melalui bercerita adalah memilih tema cerita yang baik untuk disampaikan kepada anak. Tentunya dengan memperhatikan beberapa aspek, seperti :
• Aspek religius (agama)
Dalam memilih tema cerita yang baik, aspek agama ini tidak dapat diabaikan mengingat tema cerita yang dipilih merupakan sarana pembentukan moral. Bagi kalangan keluarga muslim, tema cerita yang dipilih tidak hanya karena gaya cerita saja, melainkan harus sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam.
• Aspek pedagogik (pendidikan)
Pertimbangan aspek pendidikan dalam memilih tema cerita juga penting, sehingga dari tema cerita diperoleh dua keuntungan, yaitu menghibur dan mendidik anak dalam waktu yang bersamaan. Di sinilah letak peran pencerita (storyteller) untuk dapat memilih tema cerita dan menyampaikan pesan-pesan didaktis dalam cerita baik secara langsung atau tidak terimplisit dalam tema cerita tersebut.
• Aspek psikologis
Aspek psikologis menjadi pertimbangan dalam memilih tema cerita dimana akan membantu perkembangan jiwa anak, mengingat anak adalah manusia yang sedang berkembang. Maka secara kejiwaan, tema cerita pun disesuaikan dengan kemampuan berfikir, kestabilan emosi, kemampuan berbahasa serta tahap perkembangan pengetahuan anak dan menghayati cerita tersebut.
Dengan fungsi, tujuan dan aspek-aspek bercerita (storytelling) di atas, diharapkan dakwah dengan metode bercerita yang disampaikan pun menjadi suatu hal yang menyenangkan, sehingga tujuan dakwah itu sendiri pun ikut tercapai yaitu perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang tidak perpuji menjadi masyarakat yang islami baik untuk diri sendiri maupun untuk lingkungannya.
Dari landasan ini, penulis akan meneliti berdakwah melalui kisah cerita dalam penanaman pendidikan agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan Jakarta. Dengan kesimpulan sementara (hipotesa) bahwa guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan ini sering memberikan dakwah dan bimbingan pengajaran kepada murid-muridnya sebagai proses pembelajaran.
3. Metodologi
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dan melakukan analisis data.
a. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah guru-guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta kelas 1 s/d kelas 6 berjumlah 18 orang. Ada pun sampel yang dipakai adalah guru-guru yang mengajar materi Pendidikan Agama Islam berjumlah 18 orang tersebut mencakup pelajaran Aqidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, Fiqih, dan Quran Hadis.
b. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi, penulis melakukan observasi langsung ke sekolah untuk mendapatkan gambaran konkrit pelaksanaan metode bercerita yang dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta.
2. Angket, kuesioner yang ditujukan secara tertulis kepada sekumpulan oran untuk mendapat jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan penulis.
Angket ini diberikan kepada seluruh guru Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta yang dijadikan responden penelitian, dan pertanyaan yang ada dalam angket ini untuk mengetahui tanggapan para guru tentang metode bercerita sebagai dakwah dalam proses belajar mengajar.
c. Teknik Analisa Data
Dalam analisa ini penulis memperoleh data melalui observasi dan angket kemudian dianalisa dan disimpulkan. Setelah dipelajari, data tersebut direduksi dengan cara membuat abstraksi serta dipindahkan jawaban responden dalam tabulasi dan disusun secara rinci dalam bentuk tabel kemudian perhitungan rata-rata diukur dengan menggunakan rumusan distribusi frekuensi, yaitu , dimana P adalah prosentase; F adalah frekuensi; dan N adalah jumlah individu.
4. Analisis
Para guru di Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta menggunakan metode bercerita dalam memberikan pendidikan agama Islam pada anak didiknya. Dalam menyampaikan cerita, guru mengambil sumber dari al-quran dan hadist, buku-buku cerita bergambar, majalah atau yang berasal dari pengalaman dan pengamatan guru dengan memperhatikan kondisi anak didik. Tujuan ide bercerita itu sendiri berupa nasehat guna memperbaiki sikap anak didik, diharapkan agar anak didik tidak merasa dinasehati dan dilarang oleh guru.
Dominan anak yang berusia 6-7 tahun ini memiliki ketertarikan pada cerita-cerita pendek yang berkisah tentang peristiwa yang sering dialaminya atau dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Hal ini sangat membantu perkembangan keagamaannya, karena pada usia tersebut condong untuk meniru. Maka setiap cerita yang disampaikan, didengar, dilihat dan dibaca oleh anak hendaknya mempunyai mutu dan nilai-nilai pedagogis dan religius dengan tidak mengabaikan psikologis anak. Dan diharapkan juga agar jangan sampai mereka menemukan tauladan yang tidak baik dalam cerita-cerita tersebut.
Dalam kegiatan proses belajar mengajar, hal yang terpenting dan utama tergantung dari pesan seorang guru dalam mengekspresikan cerita. Para guru Madrasah Ibtidaiyah di Madrasah Pembangunan UIN Jakarta diberi kebebasan untuk mengekspresikan cerita sesuai dengan keadaan lapangan selama tidak menyimpang dari aspek pedagogis dan prinsip-prinsip belajar mengajar di Madrasah tersebut.
C. Hasil Penelitian
Dari analisa data yang saya peroleh bahwa :
1. Ketertarikan siswa terhadap materi pendidikan agama Islam yang disampaikan melalui metode bercerita menunjukkan sangat tinggi mencapai angka 83.33%. Dan hanya 16.67% yang cukup tertarik dengan metode cerita. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada yang menunjukkan tidak tertarik dengan metode cerita.
2. Penggunaan media atau alat peraga dalam menerangkan pelajaran agama Islam sering dilakukan dengan prosentase 44.44%, dan kadang-kadang pun media atau alat peraga digunakan dengan prosentase 38.89%. ada juga yang selalu menggunakan media atau alat peraga dengan prosentase 16.67%. Biasanya media atau alat peraga yang dipakai berupa topi, papan tulis dan spidol, penggaris, boneka, sapu dan sebagainya.
3. Aktivitas guru sebelum bercerita lebih dominan memilih tema cerita yang sesuai materi dakwah yang disampaikan mencapai angka 55.56%, di samping ada juga yang mencatat hal-hal yang baik (point-nya saja) dengan prosentase 27.78%.
4. Jenis penyampaian materi cerita lebih dominan dalam cerita tokoh dalam al-quran dengan prosentase 55.56% seperti cerita Luqmanul Hakim dan sebagainya, di samping juga ada materi cerita nabi hanya mencapai angka 33.33%.
5. Kesenangan anak dalam mendengarkan cerita mencapai angka 66.67%, di samping juga ada anak yang cukup senang mendengarkan cerita dengan prosentase 33.33%. Akan tetapi tidak ada satu pun yang tidak senang mendengarkan cerita.
6. Keaktifan siswa dalam kegiatan bercerita didominasi cukup aktif dengan prosentase 44.44%, selain ada juga yang kurang aktif hanya mencapai 22.22%. kemungkinan disebabkan kebosanan dan cerita yang sangat datar.
7. Keadaan anak ketika guru bercerita selalu memperhatikan dengan prosentase 66.67%, di samping juga ada yang kadang-kadang memperhatikan tetapi sedikit sekali dengan prosentase 11.11%.
8. Penggunaan bahasa dalam menyampaikan materi cerita didominasi bahasa Indonesia. Karena anak didik kelas 1 s/d 6 belum ada yang mampu memahami bahasa daerah bahkan bahasa asing tentunya kecuali sedikit sekali. Akan tetapi agar tercapai pesan cerita yang disampaikan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
9. Penggunaan tempat dalam bercerita sering di dalam kelas dengan prosentase 66.66%, terkadang juga ada yang di luar kelas yaitu di masjid, biasanya dakwah yang disampaikan setelah sholat berjama'ah Dhuha dan sholat Dzuhur hanya 33.34% saja.
10. Lamanya penyampaian cerita dominannya 20 menit sebesar 55.55%. Di madrasah ini 1 jam pelajaran selama 35 - 40 menit. Sehingga waktu yang tersisa dilakukan untuk tanya jawab, konsultasi, curhat dan sebagainya, sehingga suasana kegiatan dakwah menjadi nyaman dan menyenangkan. Meskipun ada juga lama penyampaian cerita 15 menit sebesar 33.34% dan 35 menit sebesar 11.11%.
11. Pemahaman anak dengan menggunakan metode bercerita sangat tinggi mencapai 77.77% dan ada juga yang cukup paham mencapai 22.23%.
12. Kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan sangat tinggi mencapai 88.89%.
13. Kemampuan anak melaksanakan pesan-pesan agama yang disampaikan melalui metode bercerita sangat tinggi mencapai 66.66% di samping ada juga yang kadang-kadang melaksanakan pesan-pesan agama sebesar 33.34%. Dalam pengamatan penulis, murid-murid melaksanakan pesan-pesan agama dengan berupa salaman sambil tersenyum kepada guru yang dijumpainya di mana saja sebagai penghormatan kepada guru.
14. Peran sekolah dalam mengembangkan potensi beragama untuk anak juga sangat tinggi dengan menyediakan sarana dan prasana, buku-buku, dan mengunjungi tempat-tempat yang memperlihatkan kekuasan Tuhan melalui outbond, bazaar, baksos (bakti sosial) dan sebagainya.
15. Perasaan guru dalam memberikan dakwah melalui kisah cerita sangat puas dengan prosentase 55.55%, di samping juga ada yang puas hanya 27.78% dan cukup puas hanya 16.67%. Dan tidak ada satu pun guru yang merasa tidak puas dengan metode cerita ini.
D. Kesimpulan
Dari deskripsi dan analisa penelitian tentang berdakwah melalui kisah cerita untuk penanaman pendidikan agama Islam ini, penulis menyimpulkan bahwa :
1. teori komunikasi sebagai taktik operasionalnya dalam strategi komunikasi dapat diterapkan dalam dakwah, dan menjadi metode yang memiliki gaya dan kelebihan tersendiri dalam menyampaikan pesan kepada audiens.
2. semua teori komunikasi yang telah dikembangkan oleh pakar komunikasi dapat diterapkan dalam dakwah khususnya narrative theory sebagai dakwah bil qishah atau dakwah bil hikayah.
3. penerapan teori komunikasi khususnya narrative theory yang dikembangkan oleh Walter Fisher (1987) dapat dilakukan dan dikembangkan dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam melalui dakwah dengan kisah cerita (message) yang menyajikan cerita-cerita bersifat umum yang bernuansa Islami membuat anak didik (audiens) memperhatikan dan mendengarkan dengan tenang ketika guru (komunikator) menyampaikan dakwah yang didukung oleh alat peraga dan media.
E. Saran
Sangat diharapkan, melalui penelitian sederhana ini akan membuka pikiran dan menambah wawasan bagi penulis pribadi khususnya tentang teori ilmu komunikasi dan penerapannya dalam dakwah (islamic communication). Ternyata dakwah, tidak hanya dilakukan dengan penyampaian ceramah di podium atau di mimbar besar, akan tetapi melalui kisah cerita dengan mengerahkan kemampuan improvisasi, ekspresi dan kreasi yang ada, dapat memberikan kontribusi makna dan pencerahan kepada siapa saja. Sejatinya sarat dengan pesan kebaikan demi menjalani hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Wallahu a'lam bisshowab...

Daftar Pustaka
Abdullah, J. Memilih Dongeng Islam Pada Anak, Jakarta: Amanah, 1997
Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, Cet. III
Al-Quran al-Karim
Armando, Nina, Kekuatan Dahsyat Cerita, Majalah Ummi, Edisi No. 7/XVII November 2005
Burns, George W. 101 Kisah yang Memberdayakan, Bandung: Kaifa, 2001
Campbell, Linda, Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelegences, tt.
Communication Capstone, Theory workbook. 2001, (http://www.uky.edu/~drlane/caps tone /orgcomm), diakses 25 Desember 2008
Ghazali, Bahri, Da'wah Komunikatif, Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da'wah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997
Ilyas, Asnelly, Mendambakan Anak Shaleh, Bandung: Al-Bayan, 1995
Ndraha, Roswitha, Menanamkan Disiplin pada Anak Lewat Cerita, sumber : http://www.sinarharapan.co.id/ berita, 2007, diakses 25 Desember 2008
Miller, Katherine, Communication Theories, Perspective, Processes, and Contexts, (International Edition), New York: McGraw-Hill Companies, Inc, 2005
Mubarak, Ahmad, Urgensi Memperbaharui Paradigma Dakwah, www.mubarak institute.com
Munir, M. Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2007
Sugihastuti, Serba-serbi Cerita Anak, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Sudjana, Matoda Statistika, Bandung: Tarsito, Cet. VI, 2002,
Syukrisnawati, Diah, Seni Islam sebagai Media Pendidikan, Jakarta: PGTK Darul Qalam, 1994
Takwin, Bagus, Psikologi Naratif: Membaca Manusia sebagai Kisah, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Yusup, Pawit M. Teori-teori Komunikasi Kelompok dan Organisasional Kontekstual, 2007 sumber: http://bdg.centrin.net.id/~pawitmy diakses 25 Desember 2008



Tabel
Tabel 1. Ketertarikan siswa terhadap materi yang diajarkan melalui metode bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Tertarik 15 83.33%
Cukup Tertarik 3 16.67%
Kurang Tertarik - -
Tidak Tertarik - -
Jumlah 18 100%

Tabel 2. Penggunaan media atau alat peraga dalam menerangkan pelajaran agama Islam

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Selalu 3 16.67%
Sering 8 44.44%
Kadang-kadang 7 38.89%
Tidak Pernah - -
Jumlah 18 100%

Tabel 3. Aktivitas guru sebelum bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Mempersiapkan diri 3 16.66%
Mencatat hal-hal yang baik 5 27.78%
memilih tema cerita yang baik 10 55.56%
Lain-lain - -
Jumlah 18 100%

Tabel 4. Jenis penyampaian materi cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Cerita nabi 6 33.33%
cerita tokoh dalam al-qur'an 10 55.56%
cerita binatang 2 11.11%
Cerita tumbuh-tumbuhan
Jumlah 18 100%

Tabel 5. Kesenangan anak dalam mendengarkan cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Sangat senang 12 66.67%
Cukup senang 6 33.33%
Kurang senang
Tidak senang
Jumlah 18 100%


Tabel 6. Keaktifan siswa dalam kegiatan bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Sangat aktif 6 33.34%
Cukup aktif 8 44.44%
Kurang aktif 4 22.22%
Tidak aktif
Jumlah 18 100%

Tabel 7. Keadaan anak ketika guru bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Selalu memperhatikan 12 66.67%
Cukup memperhatikan 4 22.22%
Kadang-kadang memperhatikan 2 11.11%
Tidak memperhatikan
Jumlah 18 100%

Tabel 8. Penggunaan bahasa dalam menyampaikan materi cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Bahasa daerah
Bahasa asing
Bahasa Indonesia 18 100.00%
lain-lain
Jumlah 18 100%

Tabel 9. Penggunaan tempat dalam bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
di halaman sekolah
di dalam kelas 12 66.66%
di luar kelas 6 33.34%
lain-lain
Jumlah 18 100%

Tabel 10. Lamanya penyampaian cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
15 menit 6 33.34%
20 menit 10 55.55%
35 menit 2 11.11%
40 menit
Jumlah 18 100%


Tabel 11. Pemahaman anak dengan menggunakan metode bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Paham 14 77.77%
Cukup paham 4 22.23%
kurang paham
tidak paham
Jumlah 18 100%

Tabel 12. Kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
mampu 16 88.89%
Cukup mampu 2 11.11%
kurang mampu
tidak mampu
Jumlah 18 100%

Tabel 13. Kemampuan anak melaksanakan pesan-pesan agama yang disampaikan melalui metode bercerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Melaksanakan 12 66.66%
tidak melaksanakan
kadang-kadang 6 33.34%
lain-lain
Jumlah 18 100%

Tabel 14. Peran sekolah dalam mengembangkan potensi beragama untuk anak

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
Menyediakan sarana dan prasarana
menyediakan buku-buku untuk anak
Mengunjungi tempat-tempat yang memperlihatkan kekuasaan Tuhan
semua dilakukan 18 100.00%
Jumlah 18 100%

Tabel 15. Perasaan guru dalam memberikan dakwah melalui kisah cerita

Pilihan Jawaban Frekuensi Prosentase
sangat puas 10 55.55%
puas 5 27.78%
cukup puas 3 16.67%
tidak puas
Jumlah 18 100%