SKB 3 Menteri Tahun 1975 Dan Implikasinya

A. Pendahuluan
Sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang tidak kecil, terutama pada masa penjajahan.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia; pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis (khususnya dari kalangan Muhammadiyah) kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.
Pada masa itu, banyak sekali peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang pada intinya tidak lain adalah untuk mengontrol atau mengawasi madrasah. Karena pemerintah takut dari lembaga pendidikan tersebut akan muncul gerakan atau ideologi perlawanan yang akan mengancam kelestarian penjajahan mereka di bumi Indonesia ini. Misalnya, penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Ordonansi guru dinilai ummat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam di Indonesia. Selain Ordonansi Guru, pemerintah kolonial Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah harus diberikan secara berkala.
Dampak dari ketakutan yang berlebihan itu mencapai puncaknya ketika banyak madrasah yang ditutup karena dianggap melanggar ketentuan yang digariskan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka tahun 1945, madrasah kembali bermunculan dengan tetap menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam. Tentunya tidak lepas dari perhatian para pejabat pada saat itu. Terbukti Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) sebagai badan legislatif pada waktu itu, dalam maklumatnya pada tanggal 22 Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan dan pengajaran di langgar, surau, masjid dan madrasah harus berjalan terus dan ditingkatkan. Dan pada tanggal 27 Desember 1945, sebagai tindak lanjut dari maklumat di atas, BPKIP menyarankan agar madrasah dan pondok pesantren mendapat perhatian dan bantuan materiil dari pemerintah, karena madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pemerintah RI tidak kalah perhatiannya terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya, terbukti juga dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) pada 3 Januari tahun 1946. Dalam bagian struktur organisasinya terdapat bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurus masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren), di samping itu ditambah lagi dengan penyelenggaraan pendidikan guru untuk pengajaran agama di sekolah umum, dan guru pengetahuan umum di perguruan-perguruan agama.
Namun menarik diamati, perhatian dari pemerintah yang ditandai dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BPKNIP tersebut tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika undang-undang pendidikan nasional pertama (UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem, karena sistem pendidikan madrasah menurut pemerintah (Departemen P&K) lebih didominasi oleh “muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum standar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah”. Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren.
Seharusnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama (Depag) berusaha membuka akses madrasah ke pentas nasional, karena memang salah satu tujuan dari pembentukan Departemen Agama adalah untuk memperjuangkan politik pendidikan Islam. Tetapi terlepas apakah tujuan itu tercapai atau tidak, banyak yang menganggap Departemen Agama telah banyak berbuat untuk memajukan madrasah. Hal itu bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang dibuat oleh Departemen Agama.
Salah satu kebijakan Departemen Agama terhadap madrasah yang cukup mendasar adalah dibuatnya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang “Peningkatan Mutu pendidikan pada Madrasah” pada tahun 1975. Maka timbul beberapa pertanyaan; Mengapa SKB 3 Menteri ini dikeluarkan? Apa yang melatarbelakangi lahirnya SKB 3 Menteri ini? Apa dampak positif dan negatifnya? Dan bagaimana implikasinya terhadap madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam?
Tulisan ini membahas hal-hal tersebut dengan mengetahkan materi pokok dari SKB 3 Menteri tahun 1975, madrasah pasca SKB 3 Menteri, munculnya MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus), implikasi dari SKB 3 Menteri tersebut. Dan pada penutup akan diberikan kesimpulan.
B. Pembahasan
1. Lahirnya SKB 3 Menteri tahun 1975
Pada tanggal 18 April tahun 1972, presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang “Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan.” Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal :
a. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.
b. Menteri tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
c. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya.
Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama sebagai penyelenggara pendidikan madrasah tidak saja yang bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga yang bersifat kejuruan. Dengan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 itu, penyelenggaran umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah menggunakan kurikulum nasional kepada kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menarik untuk dicermati, bahwa kebijakan Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Keppes dan Inpres ini juga dipandang oleh sebagian umat Islam adalah sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah, padahal madrasah merupakan wadah utama pendidikan dan pembinaan umat Islam, sekaligus sebagai lembaga formal umat Islam yang lebih diperhatikan pemerintah terutama bagi masyarakat pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan, yang sejak zaman penjajahan diselenggarakan oleh umat Islam.
Ketegangan ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan dikeluarkannya Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 yang isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan Keppres 34/1972 dan Inpres 15/1974, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
Menarik untuk dicatat, bahwa keluarnya SKB ini didasarkan pada hasil sidang Kabinet terbatas pada tanggal 26 Nopember 1974. Pada sidang Kabinet itu, Menteri Agama RI menyampaikan kecemasan umat Islam berkaitan dengan isi dan implikasi lebih jauh dari Keppres dan Inpres. Pemerintah ternyata memberi perhatian terhadap masalah tersebut, sehingga Presiden mengeluarkan petunjuk pelaksanaan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974, yang isinya :
1. Pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan kebudayaan, sedangkan tanggung jawab Pendidikan Agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
2. Untuk pelaksanaan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen P&K, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama.
Kelahiran SKB 3 Menteri ini memang antara lain untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi Keppres dan Inpres di atas. SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
1. Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA
2. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
3. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
4. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Signifikansi SKB 3 Menteri ini bagi umat Islam adalah, pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa-siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga-lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan bersamaan dengan itu, kedua, membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.
Pada tahap awal setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978, kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987. penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
SKB 3 Menteri sudah mendatangkan kelegaan yang merata di kalangan madrasah, dan telah menjadikan kedudukan madrasah menjadi lebih mantap dan lebih terjamin. Tetapi hal demikian tidak berarti, bahwa pelaksanaan selanjutnya akan dapat berjalan tanpa problema-problema yang beberapa di antaranya, hanya dapat diatasi dengan kerja tekun serta senantiasa memelihara sikap sabar dan bijaksana.
Ada dua persoalan penting, yaitu pertama, kurikulum dan peningkatan mutu serta kedua, menyediakan tenaga pengajar. Persoalan penyusunan kurikulum senantiasa harus memperhatikan kurikulum agama yang akan digunakan oleh madrasah-madrasah terutama madrasah swasta. Persoalan tenaga pengajar merupakan bagian yang paling menentukan, tetapi juga yang paling sulit mengatasinya dalam problem meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah. Terutama guru-guru berbagai mata pelajaran umum, yang melihat besarnya jumlah madrasah yang kurang memadai fasilitasnya. Tidak hanya itu, guru-guru mata pelajaran agama pun memerlukan penanganan yang serius dan bersifat kontinyu.
2. Madrasah pasca SKB 3 Menteri
Dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut; ternyata banyak sekali madrasah yang tidak mengikuti kurikulum tersebut (kurikulum 1975) dan tetap berusaha mempertahankan status madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam sebagai pengajaran pokok. Meskipun SKB 3 Menteri itu memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain, siswa keluaran dari madrasah memiliki kesempatan yang sama dengan para lulusan sekolah umum untuk mengisi dan memainkan peran-peran yang ada di tengah masyarakat.
Sisi positif lain dari SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam. Selain itu, kebijakan ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional yang tuntas. Dengan demikian, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum meskipun pengelolaannya tetap berada ada Departemen Agama.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, bahasa (Indonesia dan Inggris), fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
SKB 3 Menteri itu kemudian dikuatkan dengan SKB 2 Menteri, antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama No. 0299/U/1984 (DikBud); 045/1984 (Agama) tahun 1984 tentang “Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah”. Yang isinya antara lain: penyamaan mutu lulusan madrasah yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi. SKB 2 Menteri ini dijiwai oleh ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan, baik di sekolah umum maupun di madrasah.
Substansi dan pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah ini antara lain :
1. Kurikulum sekolah umum dan madrasah terdiri dari program inti dan program khusus.
2. Program inti untuk memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama.
3. Program khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi bagi sekolah dan madrasah tingkat menengah atas.
4. Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan belajar dan sistem penilaian adalah sama.
5. Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh ke dua departemen tersebut.
Menindak lanjuti SKB 2 Menteri tersebut, lahirlah kurikulum 1984 untuk madrasah yang tertuang dalam keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 untuk madrasah Ibtidaiyah. No. 100 tahun 1984 untuk madrasah Tsanawiyah, dan No. 101 tahun 1984 untuk madrasah Aliyah. Dengan demikian kurikulum 1984 tersebut mengacu kepada SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri, baik dalam susunan program, tujuan, maupun bahan kajian dan pelajarannya.
Khusus kurikulum MI dan MTs tahun 1984 ini terjadi penyesuaian dan penyempurnaan struktur programnya, yakni melalui SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987 tentang Penyesuaian Struktur Program Kurikulum MIN dan MTsN dan berlaku sampai datangnya kurikulum 1994.
Ciri madrasah yang paling menonjol sejak SKB 3 Menteri sampai 1987 adalah menyangkut pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran yang direalisasikan dengan perubahan dan pengembangan kurikulum. Perubahan demi perubahan yang berlangsung relatif cepat itu menunjukkan bahwa upaya untuk mencari model kurikulum yang tepat bagi pendidikan Islam (madrasah) memang bukan pekerjaan yang sederhana. Di satu sisi, ada idealisme yang berpangkal pada atau disemangati oleh Islam sebagai ajaran mulia yang mendorong umatnya untuk memadukan dua kepentingan sekaligus, yaitu dunia dan akhirat; sementara di sisi lain, idealisme itu harus dihadapkan pada realitas dan tantangan perkembangan masyarakat semakin hari semakin kompleks dan membutuhkan jawaban yang kongkrit.
Terlepas dari berbagai sisi positif sejumlah kebijakan yang dilakukan terhadap madrasah, dari mulai SKB 3 Menteri tahun 1975 sampai dengan pemberlakukan kurikulum 1984 dan penyempurnaannya untuk tingkat MI/MTs pada 1987, sebagai lembaga pendidikan yang sejak awal lahirnya identik dengan identitas keislaman, madrasah tetap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Pertama, di satu sisi ia harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya; kedua, di sisi lain ia dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Ini jelas beban yang sangat berat dipikul oleh madrasah. Kegagalan madrasah dalam memikul beban tersebut hanya akan memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah semacam “sekolah serba tanggung”.
Belum lagi kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB 3 Menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait.
Masalah lain lagi, beban kurikulum madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak dan lebih berat dibanding dengan beban belajar anak sekolah. Hal itu dikarenakan pihak madrasah (Departemen Agama) menerjemahkan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang “madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam” dan “kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” diterjemahkan beban kurikulum madrasah adalah 100% pelajaran umum di sekolah ditambah dengan 100% pelajaran agama di madrasah. Padahal jam belajar tetap sama dan sikuensnya juga sama. Disisi lain kondisi, fasilitas dan latar belakang anak madrasah dengan anak sekolah cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah.
Melihat kondisi ini, pemerintah seharusnya “jeli” agar tidak lagi menomorduakan madrasah melainkan memperlakukannya secara khusus sehingga madrasah dapat mengejar ketertinggalannya. Barangkali inilah yang menjadi pemikiran Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA yang menjabat sebagai Menteri Departemen Agama selama dua periode (1983-1993) dengan pilot projectnya yaitu MAPK (madrasah Aliyah Program Khusus).
3. MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus)
Sejak SKB 3 Menteri tahun 1975 dikeluarkan dan diteruskan dengan SKB 2 Menteri tahun 1984, secara formal madrasah sebenarnya sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan pendidikan agama sebagai ciri kelembagaannya.
Ada semacam dilema bagi madrasah sejak saat itu, di mana di satu pihak materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan, tapi di lain pihak penguasaan murid terhadap ilmu agama, terutama seperti bahasa Arab, menjadi serba tanggung, karenanya kalau mengharapkan lahirnya figur-figur kiai atau ulama dari madrasah tersebut, tentu saja adalah hal yang terlalu riskan.
Menyadari akan hal itu, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan dan usaha tersebut terealisasi dengan keinginan pemerintah mendirikan Madrasah Aliyah yang bersifat khusus, yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Kelahiran MAPK yang didasari dengan Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1987, tepatnya pada masa Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA menjabat sebagai Menteri Departemen Agama selama dua periode (1983-1993). Sistem pendidikan madrasah menjadi perhatian beliau di masa jabatannya. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. Untuk itu, beliau meninjau kembali SKB 3 Menteri tahun 1975, antara lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum, terutama dari segi kurikulum.
Menurut beliau, maksud SKB ini memang baik, tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum dari pada perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga, beliau pun merasa perlu untuk menyempurnakan SKB 3 Menteri itu melalui pilot project Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan proyek ini, harapan untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN dengan cepat akan segera terwujud.
Sasaran utama dari program ini adalah :
1. Siswa Aliyah yang berasal dari keluarga yang tidak mampu dalam aspek pembiayaan
2. Siswa yang menjadikan madrasah Aliyah sebagai terminal/tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, dan
3. Siswa yang setelah tamat menjadi pencari kerja. Atas dasar pemikiran tersebut maka ditetapkan visi MAPK menyiapkan SDM yang trampil, mandiri, religius dan berwawasan ke depan.
Adapun tujuan utama dibukanya program ini adalah :
1. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah Aliyah.
2. Untuk menyiapkan lulusan agar memiliki kemampuan dasar yang diperlukan bagi pengembangan diri sebagai ulama yang intelek.
3. Menyiapkan lulusan sebagai calon mahasiswa IAIN atau PTAI lainnya termasuk calon mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir.
Ide ini pun disetujui oleh Presiden Soeharto, sehingga pada tahun 1988 proyek MAPK dimulai dan untuk tahap pertama, dibuka di lima propinsi, yaitu Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram. Keberhasilan dan perkembangan proyek ini pun mulai tampak. Antara lain bertambah jumlah MAPK sudah mencapai 110 buah, dan berhasilnya 48 alumni MAPK mengikuti proses belajar mengajar di Universitas al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1991.
Ternyata dalam perkembangannya, MAPK ini belum dapat menjadi program unggulan di madrasah Aliyah, hal ini dikarenakan masih sering terjadi benturan dalam mengatur waktu belajar antara program reguler dengan program “ekstra kurikuler ketrampilan”. Lebih-lebih bila kepada madrasahnya kurang begitu perhatian dengan program ini. Hal ini dikarenakan juga program ketrampilan ini masih dianggap program “tempelan” bagi madrasah Aliyah itu sendiri.
Meskipun demikian, munculnya MAPK ini sedikit banyaknya telah membawa perbaikan dan kebaikan secara kuantitas dan kualitas bagi madrasah menuju sistem pendidikan nasional. Yang pada akhirnya MAPK diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang merupakan realisasi UU No. 2 tahun 1989.
4. Implikasi SKB 3 Menteri
Implikasi SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain:
a. Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
b. Aspek Kurikulum
Karena diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
c. Aspek Siswa
Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
1. ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat,
2. siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, dan
3. lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
d. Aspek Masyarakat
SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti jelas dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%).
Trend pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara lain :
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
2. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
3. Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan sebagainya).
4. Pengadaan / penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
5. Pengadaan bantuan dana; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
6. Pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
7. Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
8. Pemberian kesempatan untuk magang / latihan kerja.
9. Pemberian bantuan managemen pendidikan.
10. Bantuan pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
11. Kerjasama dalam penelitian dan sebagainya.
5. Madrasah Ke Depan
Untuk peningkatan mutu madrasah secara efektif, diperlukan pemahaman terhadap hakekat dan problematika madrasah. Madrasah sebenarnya merupakan model lembaga pendidikan yang ideal karena menawarkan keseimbangan hidup: iman-taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan-teknologi (iptek). Di samping itu, sebagai lembaga pendidikan berbasis agama dan memiliki akar budaya yang kokoh di masyarakat, madrasah memiliki basis sosial dan daya tahan yang luar biasa. Atas dasar itu apabila madrasah mendapatkan sentuhan menejemen dan kepemimpinan yang baik niscaya akan dengan mudah menjadi madrasah yang diminati masyarakat. Seandainya mutu madrasah itu sejajar saja dengan sekolah, niscaya akan dipilih masyarakat, apalagi kalau lebih baik.
Persoalannya, kondisi sebagian besar madrasah sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Apabila dilihat dari missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga dakwah. Sedangkan apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk tidak mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kondisi madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan tak terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru, fasilitas) rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah, dan kepercayaan stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.
Lalu upaya apakah yang paling strategis atau kiat-kiat yang paling jitu dalam mempercepat peningkatan mutu madrasah. Menurut Yahya Umar , kalau madrasah diibaratkan mesin, maka ada tiga hal yang hendak dilakukan direktoratnya: menyehatkan mesin, mengurangi beban dan merubah beban menjadi energi.
Pertama, menyehatkan mesin. Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya organisasi dan proses organisasi. Dalam mewujudkan budaya madrasah yang baru, diperlukan konsolidasi idiil berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama yang selama ini mengalami pendangkalan, pembelokan dan penyempitan makna. Konsep tentang ihlas, jihad, dan amal shaleh perlu direaktualisasikan maknanya dan dijadikan core values dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Dengan landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki modal sosial (social capital) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa saling percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen, dedikasi, kesungguhan, kerja keras, persaudaraan dan persatuan.
Kedua, kurangi beban. Madrasah memang sarat beban, apabila dilihat dari missi, muatan kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan politik. Penyelenggaraan kurikulum madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar tidak terpaku pada formalitas yang padat jam tetapi tidak padat misi dan isi. Orientasi pendidikan tidak lagi pada "having" tetapi "being", bukan "schooling" tetapi "learning", dan bukan "transfer of knowledge" tetapi membangun jiwa melalui "transfer of values" lewat keteladanan. Metode belajar yang mengarah pada, "quantum learning", "quantum teaching" dan "study fun" dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya Belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain sambil belajar, guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya belajar Bangsa Indonesia yang banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan sikap kesungguhan, prihatin (tirakat), ihlas (nrimo, qanaah), tekun dan sabar. Siswa madrasah harus dididik menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa pejuang, seperti sikap tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten, dan pekerja keras. Multiple intelligence (intellectual, emotional dan spiritual quotient) siswa dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan yang keras, bukan sambil bermain atau dalam suasana fun semata.
Ketiga, merubah beban menjadi energi. Pengelola madrasah baik pimpinan maupun gurunya haruslah menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif. Pemimpin madrasah tidak sepatutnya hanya berperan sebagai administrator, "pilot" atau "masinis" yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, melainkan harus diibaratkan seorang "sopir", "pendaki" atau "entrepreneur" yang senantiasa berupaya menciptakan nilai tambah dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari dan memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan (analisis swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi, teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pemimpin yang berjiwa entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan (jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya, beban berat di sebuah mobil dapat dirubah menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun. Intinya, cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan berjiwa besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu karakteristik madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dari sebuah pengajian di mushallah/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya menjadi madrasah. Proses evolusi madrash selama ini ada yang berlangsung dengan baik dan ada yang jalan ditempat, tetapi sangat jarang yang mati. Semua itu tergantung pada orang-orang yang ada di dalamnya.
Menurut Azyumardi Azra, inilah tantangan madrasah yang harus dihadapi, meskipun peluang bagi umat Islam jelas masih tetap besar, setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, umat Islam telah menemukan “new attachment” yang merupakan modal yang sangat berharga bagi madrasah atau lembaga pendidikan Islam umumnya. Kini tinggal bagi madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya untuk memberdayakan dirinya benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi.
Menurut Mastuhu, madrasah dapat dikembangkan melalui kekuatan, karakter dan kebutuhannya sendiri. Kekuatan madrasah adalah lahir dari panggilan agama bahwasanya belajar dan mencari ilmu merupakan perintah wajib sepanjang hayat. Karakteristik madrasah adalah memegang tegup prinsip bahwa belajar dan menyelenggarakan usaha pendidikan adalah panggilan tugas agama, serta tidak hanya tanggung jawab sebatas kepentingan dunia tetapi juga diyakini harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti atau di hadapan Tuhan kelak. Kebutuhan madrasah adalah penguatan pada seluruh komponen pendidikannya dan pengakuan atau kepercayaan dari semua pihak. Islam pasti tidak akan mengajarkan kekerasan dan madrasah jug pasti tidak akan mengajarkan hal yang anti-negara. Madrasah membutuhkan evaluasi dan akreditasi demi kemajuan dan peningkatan mutu, serta kontribusinya bagi bangsa dan negara.
Bagaimana pun solusi yang ditawarkan, madrasah telah menunjukkan jati diri yang fenomenal sebagai lembaga pendidikan Islam. Madrasah telah melakukan perjalanan panjang dan telah banyak memberikan kontribusi pada dunia pendidikan Islam dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
C. Kesimpulan
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 ternyata menimbulkan reaksi keras umat Islam. Inti kedua keputusan itu adalah agar penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kebijakan ini dianggap suatu kekeliruan oleh umat Islam. Karena itu mereka melakukan reaksi keras sehubungan dikeluarkannya kebijakan tersebut. Reaksi ini ternyata dipahami pemerintah. Karena itu, menyikapi keputusan dan reaksi umat Islam, dilakukanlah kesepakatan tiga menteri yang dikenal dengan Surat Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama pada tahun 1975.
SKB 3 Menteri ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah. SKB 3 Menteri itu telah direalisasikan dengan dikeluarkannya kurikulum baru pada tahun 1976. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak sekali madrasah yang tidak mengikuti kurikulum tersebut dan tetap berusaha mempertahankan status madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam sebagai pengajaran pokok, SKB ini sering dipuji banyak memiliki nilai positif antara lain :
Pertama, melalui SKB 3 Menteri, madrasah telah sejajar kedudukannya dengan sekolah-sekolah umum. Ini berarti pula bahwa siswa keluaran dari madrasah manapun memiliki kesempatan yang sama dengan para lulusan sekolah umum untuk mengisi dan memainkan peran-peran yang ada di tengah masyarakat.
Kedua, SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam.
Ketiga, hal yang paling penting dan strategis dari SKB 3 Menteri itu adalah upaya untuk mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut adalah formalisasi dan strukturisasi madrasah. Formalisasi ditempuh dengan menegerikan sejumlah madrasah dengan kriteria tertentu yang diatur oleh pemerintah, di samping itu pemerintah juga mendirikan madrasah-madrasah negeri yang baru. Strukturisasi dilakukan dengan mengatur penjenjangan dan perumusan kurikulum yang cenderung sama dengan penjenjangan dan kurikulum sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Keempat, dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI sederajat SD, MTs sederajat dengan SMP, MA sederajat dengan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran ilmu Sosial, Kimia, Matematika, Geografi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, lahirnya SKB 3 Menteri ini tampaknya telah dijadikan sumber inspirasi. Peristiwa dan langkah pada periode itu bisa dipandang sebagai momen strategis bagi eksistensi dan perkembangan madrasah pada masa berikutnya. Madrasah tidak saja tetap eksis dan dikelola oleh Departemen Agama, tetapi sekaligus diposisikan secara mantap dan tegas seperti halnya sekolah dalam sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahap integrasi ini dapat dikatakan terjadi penerimaan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional di satu pihak, dan transformasi madrasah kedalam jalur pendidikan persekolahan di pihak lain. Dalam hal ini, secara umum madrasah mengalami perkembangan definisi yang tidak lagi merupakan lembaga pendidikan Islam dalam pengertian eksklusif keagamaan, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan jalur sekolah yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Perkembangan ini agaknya belum pernah terjadi di masa sebelumnya karena berbagai kendala baik yang menyangkut intern umat Islam ataupun karena kondisi politik pemerintah pada saat itu.
Akan tetapi, Ini jelas beban yang sangat berat dipikul oleh madrasah. Di satu sisi ia harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya, di sisi lain ia dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar dengan sekolah-sekolah umum.
Melihat kondisi madrasah ini, pemerintah seharusnya tidak lagi menomorduakan madrasah, melainkan memperlakukannya dan memperhatikannya secara khusus dan “jeli” agar madrasah dan siswanya dapat mengejar ketertinggalannya dan tidak lagi menjadi forgotten community. Mungkin pemerintah selama ini berasumsi: "tanpa dibantu pun madrasah sudah dapat hidup". Asumsi ini memang tidak terlalu salah, akan tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak membantunya. Mudah-mudahan dengan kebijakan Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Yahya Umar yang akan memberdayakan madrasah, terutama madrasah swasta dengan tiga hal: memberdayakan murid, guru dan madrasah bisa terwujud dan terealisasi. Semoga...
Wallahu a'lam bisshowab...


Daftar Pustaka

Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, 2005
Azra, Azyumardi, Madrasah dan Tantangan Globalisasi: Persfektif Historis-Sosiologis Pendidikan Islam, dalam Roundtabel Discussion: Masa Depan Madrasah, Ciputat: INCIS, 2004
Depag RI, Sejarah Madrasah: Pertumbuhan, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2004
Djambek, Saadoeddin, Kurikulum Baru Madrasah Negeri Dalam Rangka Realisasi SKB 3 Menteri, Sarana Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri, Proyek Penelitian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1975/1976
Fajar, Malik, Madrasah dan Tantangan Modernintas, Bandung: Mizan, 1998
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996
Kasdi, Abdurrahman, Munawir Sjadzali dan International Studies; Menembus Kebekuan Pendidikan Islam, www.ditpertais.net/jurnal/vol62003lo.asp, 2008 diakses 24 Desember 2008

Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Mastuhu, Madrasah dan Tantangan Pendidikan Modern, dalam Roundtabel Discussion: Masa Depan Madrasah, Ciputat: INCIS, 2004
Menteri Agama RI, Sambutan Pada Pembukaan Rapat Koordinasi Sertifikasi Guru Madrasah Tahun 2007 Tanggal 17 Januari 2007 Di Jakarta, www.depag.go.id/ file/dokumen/ 17Januari2007 diakses 24 Desember 2008
Rahim, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan pemikiran, 2005
___________, Upaya Integrasi Madrasah Dalam Sistem Pendidikan Nasional, http://pendis.depag.go.id/madrasah diakses 24 Desember 2008
___________, Pengakuan Madrasah sebagai Sekolah Umum (berciri khas Islam), http://pendis.depag.go.id/madrasah diakses 24 Desember 2008
Saleh, Abdurrahman, Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri dan Relevansinya dengan SKB 3 Menteri, Sarana Pelaksanaan Kurikulum Baru Madrasah Negeri, Proyek Penelitian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1975
Sutejo, Muwardi, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Dirjend. Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, 1992
Syukur, Fatah, Madrasah Dan Pemberdayaan Peran Masyarakat http://citraedukasi.blogspot. com/2008 diakses 24 Desember 2008
Tobroni, Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah: Tanggapan atas Kebijakan Dirjen Pendidikan Islam Depag (Webmaster: artikel Pendidikan Network, 2008), diakses 24 Desember 2008