LEMBAGA PENDIDIKAN DALAM KEMAJUAN ILMU DI DUNIA ISLAM

A. Pendahuluan
Membicarakan lembaga-lembaga pendidikan dalam kemajuan ilmu di dunia Islam, berarti melihat dari dekat berbagai komponen, sistem dan metode yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan Islam pada masa itu melalui sejarah yang pernah dicatat di dalamnya. Ditinjau dari segi kacamata sejarah sebenarnya proses penciptaan lembaga pendidikan tersebut sangatlah bersifat demokratis yang didorong oleh munculnya berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan semangat untuk memajukan Islam itu sendiri.
Lahirnya ilmuwan-ilmuwan Muslim terkenal dan terkemuka menandakan betapa pentingnya lembaga pendidikan sebagai media atau sarana dalam memajukan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan baik bidang ilmu agama maupun bidang ilmu umum (sekuler). Dengan kata lain, bahwa kemajuan ilmu di dunia Islam pada masa lalu didorong oleh banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang muncul di permukaan bumi ini, baik formal maupun non-formal, dan tentunya tidak lepas dari keinginan dan dukungan yang penuh dari para penguasa dan orang-orang kaya.
Lembaga-lembaga pendidikan ini tentunya telah mengalami perjalanan yang panjang dengan segala kelebihan dan kekurangan serta keunikannya. Dan melalui proses yang dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pendidikan ini telah berhasil melakukan change of knowledge dan change of value kepada umat atau masyarakat Islam luas pada umumnya. Oleh karena itu, penulis akan membahas beberapa lembaga pendidikan yang telah membawa perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

B. Pembahasan
1. Madrasah
Madrasah merupakan isim makan dari kata darasa yang berarti belajar. Jadi madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah pemula.
Menurut Mulyadhi, madrasah yang makna harfiahnya adalah tempat belajar, juga merupakan lembaga pendidikan formal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama. Madrasah-madrasah ini berkembang dari lembaga-lembaga pendidikan informal yang pada mulanya disematkan pada bangunan kompleks masjid, sehingga disebut masjid-Khan . Setidaknya ada dua madrasah yang terkenal yaitu, pertama madrasah Nizhamiyyah yang didirikan oleh Nizham al-Muluk (1018-1092), yaitu wazir Seljuk untuk Malikshah. Madrasah Nizhamiyyah merupakan sistem universitas yang didirikan di beberapa tempat, misalnya di Thus, Syiraz dan Naishyapur. Tetapi yang terbesar dari semua itu adalah yang ada di Baghdad. Dan kedua, Madrasah Mustanshiriyyah didirikan pada abad ke-13 oleh khalifah Mustanshir (1226-1242), ayah dari khalifah Abbasiyah terakhir. Pendirian madrasah ini dimaksudkan untuk menggantikan kemunduran sekolah tinggi Nizhamiyyah, yang didirikan hampir dua abad sebelumnya.
Ada pun latar belakang berdirinya madrasah Nizhamiyah pada tahun 1067, karena perseteruan antara kelompok Sunni (dinasti Saljuk) dengan kelompok Syiah (dinasti Fatimiyah di Mesir). Oleh Syalabi dan Maksum dikatakan berdirinya madrasah Nizhamiyyah merupakan pembatas, untuk membedakan era pendidikan Islam sebelumnya. Selanjutnya madrasah Nizhamiyyah merupakan lembaga pendidikan sebelumnya. Selanjutnya madrasah Nizhamiyyah merupakan lembaga pendidikan resmi dan pemerintah terlibat dalam menetapkan tujuan-tujuannya , kurikulumnya, memilih gurunya dan memberikan dana kepada madrasah. Dan juga merupakan lembaga pendidikan resmi yang menghasilkan pegawai dan karyawan-karyawan pemerintah.
Ketetapan awal untuk membina madrasah Nizhamiyyah ini oleh dinasti Saljuk, karena suatu pertimbangan bahwa untuk melawan Syi'ah (Dinasti Fatimiyyah) tidak cukup dengan kekuatan senjata, melainkan juga harus melalui penanaman ideologi yang dapat melawan ideologi Syi'ah. Pertimbangan itu dilakukan karena Syi'ah sangat aktif dan sistematik dalam melakukan indoktrinisasi melalui pendidikan atau aktivitas pemikiran yang lain.
Kalau dicermati, berdirinya madrasah yang merupakan lembaga pendidikan bagi umat Islam dilandaskan pada motivasi agama, dan motivasi ekonomi, karena berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga motivasi politik. Dengan berdirinya madrasah, maka lembaga pendidikan Islam memasuki periode baru yaitu “pendidikan menjadikan fungsi bagi negara, dan sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik”.
Dan setelah kemunduran madrasah Nizhamiyyah, berdirilah madrasah Mustanshiriyyah yang didirikan oleh khalifah Mustanshir (1226-1242), Nuruddin Zanky (1146-1174) dan Shalahuddin al-Ayyubi (1169-1193) yang ternyata melanjutkan kebijakan dan mengikuti jejak Nizham al-Muluk dengan memasukkan ke dalam madrasah akan kepentingan-kepentingan tersebut.
Khalifah Mustanshir sebetulnya menyadari kelemahan madrasah Nizhamiyyah. Antara lain mengenai orientasinya hanya pada satu madzhab, dalm hal ini madzhab Syafi'i dan mengenai kurangnya perhatian terhadap ulum al-aqliyyah, khususnya ilmu Tib. Karena itu pada tahun 1233-1234 M, ia mendirikan madrasah baru yang disebut al-Mustanshiriyyah. Perbedaannya dengan madrasah Nizhamiyyah ialah bahwa yang terakhir ini menyediakan fasilitas yang serupa kepada tiga madzhab ahli sunnah yang lainnya pada satu lokasi. Ini untuk mengatasi kelemahan madrasah Nizhamiyyah yang pertama. Dengan demikian diharapkan akan terjadi suasana persaingan baru dan kesinambungan di antara madzhab-madzhab Sunni. Akan tetapi, pengaruh langkah ini terhadap suasana keilmuan kelihatan kurang berarti. Mengingat penyelenggaraan pendidikan untuk empat madzhab ini dilakukan secara terpisah, tidak ada dialog yang intensif yang dapat menumbuhkan keluasan wawasan dan saling pengertian antar madzhab. Ide al-Muntashir tersebut memang lebih ditujukan untuk memperoleh simpati yang lebih luas dari kalangan Sunni, atau ulama-ulama fiqh ortodoks.
Di samping itu, sebagai upaya mengatasi kekurangan kedua, al-Mustanshir memberikan perhatian kepada ilmu kedokteran dengan mengajarkannya di madrasah khusus (al-Bimaristan) dan memberikan perhatian yang cukup terhadap kesehatan para pengajarnya. Ide yang kedua tidak berkaitan langsung dengan madrasah, karena merupakan lembaga tersendiri.
Barangkali inilah upaya yang cukup baik dari khalifah al-Mustanshir sehingga madrasah al-Mustanshiriyyah ini dipandang maju karena telah mengajarkan empat madzhab (fikih), karena umumnya madrasah hanya mengajarkan satu madzhab saja. Dan dalam sejarahnya madrasah ini telah selamat dari kehancuran yang disebabkan oleh serangan Hulagu Khan.
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan telah memberikan pengaruh yang besar di dunia Islam. Selain madrasah dapat diterima luas karena tujuan dan kurikulumnya sesuai dengan kecenderungan masyarakat pada saat itu, madrasah juga dianggap mewakili harapan masyarakatnya. Hal ini dapat ditinjau dari sudut pandang sosial keagamaan maupun ekonomi.
Secara sosial keagamaan, madrasah diterima masyarakat Muslim pada waktu itu karena sesuai dengan lingkungan dan keyakinannya. Pertama, materi pokok yang diajarkan di madrasah pada waktu itu umumnya fiqih. Materi ini dianggap merupakan kebutuhan masyarakat umumnya dalam rangka hidup dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran dan keyakinannya. Karena itu, materi ini dapat diberikan kepada anggota masyarakat dalam segala tingkatan umur. Hal itu berbeda dengan misalnya filsafat, ilmu kalam, tasawuf atau ajaran kaum Syi'ah yang membutuhkan tingkat umur, kedewasaan dan syarat tertentu. Kedua, ajaran yang diberikan dalam madrasah adalah ajaran Sunni. Ajaran ini, sepanjang sejarahnya dianut oleh kebanyakan umat Islam. Dan ketiga, pengajar di madrasah adalah para Ulama . Ulama sebagai pemegang ilmu syari'ah adalah yang paling berkepentingan untuk menjadikan syari'ah dapat diterima. Di samping itu, ulama mempunyai peranan penting dan kedudukan khusus dalam masyarakat, sebagai panutan dan pembela masyarakat, dan juga mempunyai kedudukan khusus dalam pemerintah, sebagai penasehat dan pemberi legitimasi. Ada memang beberapa penguasa saja yang merasa dekat dengan para ahli ilmu kalam dan failasuf, tetapi hal itu tidak dapat dijadikan sebagai patokan, sebab begitu raja meninggal, fuqaha kembali menduduki tempat terhormat.
Secara ekonomi, madrasah adalah lembaga yang menjanjikan kerja. Pengajaran fiqh, sejak semula, dapat memberikan kesempatan kerja, karena dengan menguasai fiqh seseorang akan dibutuhkan di dalam masyarakat waktu itu. Dengan demikian kedudukan faqih menjadi lebih sejahtera. Madrasah Nizhamiyyah, selain sebagai lembaga untuk mengajarkan fiqh dalam rangka mengembangkan ajaran Sunni, memang dimaksudkan pula untuk menyiapkan pegawai pemerinta, khususnya di lapangan hukum dan pengadilan. Dengan demikian madrasah telah menjanjikan lapangan kerja.
Kini madrasah (khusus di Indonesia) dalam era modern telah berada dalam tarik menarik antara keharusan mempertahankan pengajaran ilmu-ilmu agama secara modern di satu pihak, dan mengembangkan pengajaran ilmu-ilmu non keagamaan di lain pihak. Sikap madrasah yang terlalu konservatif akan mendorong lembaga itu terasing dan bahkan lenyap dari perkembangan modern. Sebaliknya, sikap akomodatif yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekuler) juga akan menjerumuskan madrasah ke dalam sistem pendidikan yang lepas dari nilai-nilai keislaman.
Inilah tantangan madrasah yang harus dihadapi, meskipun peluang bagi umat Islam jelas masih tetap besar, setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, umat Islam telah menemukan “new attachment” yang merupakan modal yang sangat berharga bagi madrasah atau lembaga pendidikan Islam umumnya. Kini tinggal bagi madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya untuk memberdayakan dirinya mampu benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi.

2. Akademi
Akademi adalah lembaga pendidikan seperti madrasah tingkat tinggi, biasanya dibangun oleh seorang penguasa yang ingin membantu kemajuan ilmu, dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan ilmiah seperti menerjemahkan manuskrip, menulis buku, menulis komentar, berdiskusi dan sebagainya. Penguasa muslim Sunni maupun Syi'ah telah banyak mendirikan akademi seperti itu misalnya Bayt al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-Hikmah di Mesir.
Dalam sejarahnya, Bayt al-Hikmah didirikan pada era kekuasaan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809). Namun, lembaga yang awalnya berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penerjemahan yang berada di Baghdad itu berkembang pesat di era Kekhalifahan al-Ma’mun (813-833). Pengganti Harun ar-Rasyid itu mengembangkan Bayt al-Hikmah menjadi sebuah lembaga akademi atau perguruan tinggi virtual pada zamannya.
Lembaga pengetahuan itu pun menjelma menjadi tempat para ilmuwan Muslim melakukan penelitian dan menimba ilmu. Pada era kekuasaan al-Ma’mun, Bayt Al- Hikmah pun dilengkapi dengan observatorium. Sejarah mencatat, pada era itu tak ada pusat studi di belahan dunia mana pun yang mampu menandingi dan menyaingi kehebatan Bayt al-Hikmah.
Di Bayt Al-Hikmah, segala macam ilmu pengetahuan dikaji, diteliti dan dikembangkan oleh para ilmuwan. Studi yang berkembang pesat di lembaga itu antara lain; Matematika, Astronomi, Kedokteran, Zoologi, serta Geografi. Sebagai khalifah yang dikenal sangat inovatif, al-Ma’mun meminta para ilmuwan Muslim tak hanya menguasai pengetahuan hasil transfer dari peradaban lain saja. Ia mendorong para ilmuwan Muslim untuk melahirkan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Upaya itu akhirnya tercapai. Baghdad pun menjelma menjadi kota yang paling kaya raya di dunia dan menjadi pusat pengembangan intelektual pada era itu. Saat itu, penduduk Baghdad mencapai satu juta jiwa - populasi terbesar saat itu.
Selama kepemimpinannya, Bayt al-Hikmah telah melahirkan sederet ilmuwan Muslim terkemuka di dunia. Beberapa ilmuwan Muslim yang muncul di era kepemimpinan al-Ma’mun itu antara lain Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi. Al-Khwarizmi (780-848) adalah seorang matematikus, astronom dan geografer terkemuka di era kepimpinan Khalifah al-Ma’mun. Ia dikenal sebagai pendiri beberapa cabang dan konsep dasar Matematika. Salah satu kontribusinya yang paling penting dalam matematika adalah Aljabar. Tak heran, bila kemudian al-Khwarizmi dikenal sebagai ‘Bapak Aljabar’. Kitab yang paling berpengaruh yang ditulisnya adalah Kitab Aljabr. Dia juga berperan dalam menemukan cabang matematika Algoritma melalui kitabnya Hisab Al-Jabr wal Muqabalah.
Ada lagi ilmuwan muslim yang tak kalah hebatnya yaitu al-Kindi (801-873). Dia adalah seorang farmakolog, musisi, penulis, filosof, astronom dan kaligrafer terkemuka di era kepemimpinan Kekhalifahan al-Ma’mun. Al-Kindi ditunjuk Al-Ma’mun untuk memimpin Bayt al-Hikmah di Baghdad. Ilmuwan Muslim lainnya yang sangat terkenal pada era kepemimpinan Khalifah al-Ma’mun adalah al-Farghani. Dia adalah seorang astronom yang sangat dibanggakan Khalifah al-Ma’mun. Al-Farghani merupakan astronom Muslim yang mengkaji tentang astrolab dan menjelaskan teori matematika dibalik pembuatan astrolab.
Sepeninggal al-Ma’mun, Bayt al-Hikmah masih tetap berjaya di masa kepemimpinan Khalifah Al-Mu’tasim (833-842) dan Khalifah Al-Wathiq (842-847). Namun, pamor Bayt al-Hikmah kian memudar pada zaman kekuasaan Khalifah al-Mutawakil (847-861). Meredupnya “obor pengetahuan” Bayt al-Hikmah terjadi lantaran Khalifah al-Mutawakil melarang berkembangnya paham Mu’tazilah. Dia lebih memilih menerapkan paham Islam ortodok.
Padahal, pada era al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Wathiq paham Mu’tazilah sudah menjadi semacam paham resmi kekhalifahan. Khalifah al-Mutawakil memutus paham itu lantaran ingin menghentikan perkembangan filsafat Yunani yang menjadi salah satu alat utama teologi Mu’tazilah.
Bayt al-Hikmah telah menjelma sebagai sebuah akademi atau universitas, meski pada waktu itu secara resmi belum dikenal yang namanya perguruan tinggi. Namun, aktivitas pendidikan layaknya perguruan tinggi sudah mulai berlangsung saat itu.
Tidak kalah halnya dengan Bayt al-Hikmah, akademi yang bernama Dar al-Hikmah yang didirikan oleh al-Hakim (996-1021) seorang khalifah Fathimiyyah di Kairo – Mesir, juga telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang hebat dan luar biasa. Bangunannya dihiasi dengan karpet di lantai dan dindingnya, dan selain buku yang disediakan juga kertas, pena dan tinta untuk umum. Siapa saja boleh masuk, dan lembaga ini didatangi oleh berbagai kelas dalam masyarakat yang ingin membaca, menulis, dan mendapat pengajaran peneliti. Para asisten, dan pesuruh, dipekerjakan dengan gaji tetap, dan para ilmuwan pun diberi gaji untuk melakukan studi di lembaga tersebut.

3. Perpustakaan
Perpustakaan adalah sarana ilmiah yang dalam dunia Islam telah memanikan peranan penting, terutama dalam penyebaran dan pelestarian sumber-sumber keilmuan yang dikembangkan di dunia Islam. Umat Islam pada masa abad pertengahan, khususnya para penguasa dan orang kayanya adalah orang-orang yang sangat gemar dan penuh semangat terhadap buku. Dunia ilmu dan buku telah menikmati kedudukan dan nilai moral yang demikian tinggi. Karena itu mereka banyak yang mendirikan perpustakaan besar di dunia Islam, yaitu Perpustakaan Abbasiyyah di Baghdad, Fathimiyyah di Mesir dan Perpustakaan Umayyah di Kordoba.
Pada masa kejayaan khilafah Islam, di berbagai kota besar tersebar perpustakaan-perpustakaan besar yang dibanggakan. Berbagai kitab dan maraji' (rujukan) yang langka turut melengkapi perpustakaan tersebut. Di samping itu masjid-masjid, universitas, sekolah dan tempat-tempat pengajaran ilmu dan hikmah lainnya, termasuk yang ada di istana Khalifah yang diperuntukkan bagi para pelajar, ulama, penerjemah, dan penyalin dapat ditemui perpustakaan-perpustakaan.
Sejak peradaban Islam menguasai teknologi pembuatan kertas, aktivitas penulisan buku di akhir abad ke-8 M kian menggeliat. Jumlah buku yang terbit di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu sungguh melimpah. Pada era itu minat baca sangat tinggi, sehingga setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Guna menampung buku-buku yang terbit setiap saat, maka pada abad ke-9 M di hampir seluruh kota Islam sudah ada perpustakaan.
Peradaban Islam di era kekhalifahan tak hanya memiliki perpustakaan yang banyak. Masyarakat Muslim di masa keemasan juga memperkenalkan konsep perpustakaan modern. Bagi masyarakat Islam, perpustakaan bukan hanya tempat untuk menyimpan risalah. Namun, umat Islam menjadikan sebagai pusat penyebaran ilmu pengetahuan dan peradaban. Tak cuma sebatas itu, perpustakaan pun menjadi tempat pertemuan dan diskusi sebagai sarana pertukaran ilmu antara guru dan muridnya. Yang lebih mengagumkan lagi, perpustakaan Islam di zaman kekhalifahan telah memperkenalkan konsep katalog. Pada masa itu, buku-buku yang disimpan di perpustakaan telah diatur dan ditempatkan ke dalam genre dan kategori. Konsep itu ternyata hingga kini masih digunakan di perpustakaan modern.
Ada sebuah perpustakaan yang megah dan besar yang dimiliki umat Islam yang didirikan oleh 'Adhud al-Dawlah (w. 983) di Shiraz. Perpustakaan itu berdiri di sebuah kompleks yang nyaman; dikelilingi taman, danau, dan aliran air yang menenangkan pikiran. Gedungnya diatapi kubah. Tak kurang dari 360 ruangan disediakan untuk menyimpan buku berdasarkan kategorinya.
Di Naisabur terdapat perpustakaan umum Darul Ilmi dan sering pula dinamakan Khizanatul Kutub. Perpustakaan ini didirikan oleh Abu Naser Sabur bin al-Dasyir, yang merupakan hasil wakafnya sendiri. Perpustakaan ini memuat 10.400 kitab tentang berbagai macam ilmu pengetahuan. Perpustakaan sentral pengetahuan.
Di kota Marrakech, kota terbesar ketiga di Maroko, berdiri Masjid Kutubya. Masjid yang dibangun pada era kekuasaan Abd al-Mumin dari Dinasti Muwahiddun itu sengaja diberi nama Kutubya, karena di sekelilingnya terdapat tak kurang dari 200 buku. Pada masa kekhalifahan, buku menjadi komoditas perdagangan yang menguntungkan di Maroko.
Para penguasa Muslim yang cinta pada ilmu pengetahuan pun mendirikan perpustakaan pribadi. Jumlah buku yang dikoleksinya pun begitu melimpah. Perpustakaan Mostandir, milik Sultan Mesir memiliki koleksi tak kurang dari 80 ribu volume. Bahkan, perpustakaan milik Dinasti Fatimiyyah di Kairo tercatat memiliki satu juta volume buku. Selain itu, perpustakaan milik penguasa Muslim di Tripoli menyimpan koleksi buku hingga mencapai 200 ribu volume.
Sejarah juga mencatat, jumlah perpustakaan umum yang dimiliki penguasa Kekhalifahan Umayyah di Spanyol Muslim, mencapai 70 unit. Selain itu, para ilmuwan dan ulama di kota itu juga memiliki perpustakaan pribadi yang jumlahnya tak terhitung. Tak heran, jika Kordoba, ibu kota pemerintahan Dinasti Umayyah di Spanyol, menjadi pusat ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Di dalam kitab Mu'jamul udaba', disebutkan bahwa di daerah Karkar (dekat dengan Baghdad) terdapat suatu ruangan yang indah sekali kepunyaan Ali bin Yahya bin al-Munajjim, serta istana megah yang memiliki lemari besar yang dinamakan Khizanatul Hikmah (lemari hikmah) untuk menyimpan kitab-kitab. Orang-orang dari berbagai negeri berdatangan ke sana untuk bermukim dan mempelajari kitab-kitab yang tersimpan di dalamnya. Mereka diberi kitab dan biaya hidup sehari-hari berasal dari harta milik Yahya. Mereka mendapatkan asrama (tempat tinggal), kitab-kitab, makanan dan keperluan hidup sehari-hari. Di salah satu sudut kota Khurasan terdapat 10 perpustakaan yang teratur rapi, masing-masing perpustakaan memiliki 12.000 kitab. Di antara perpustakaan tersebut yang paling terkenal adalah “Khizanatul al-Hakam ats-Tsani”, yang memiliki koleksi 400.000 kitab. Kaum Muslimin masa itu, laki-laki maupun wanita, berlomba-lomba dengan bersemangat mendirikan perpustakaan agar ilmu pengetahuan tersebar luas di kalangan kaum Muslimin yang haus ilmu.
Menjamurnya perpustakaan di dunia Islam pada era keemasan telah membuat masyarakat Muslim mampu menguasai dunia. Masa keemasan dunia Islam itu mulai memudar, setelah perpustakaan-perpustakaan besar yang menyimpan koleksi buku-buku bernilai tinggi dihancurkan saat bangsa Mongol melakukan invansi dibawah komando Hulagu Khan, sungai-sungai di kota itu berwarna hitam pekat yang berasal dari tinta buku. Di era kolonialisme juga banyak buku penting dari dunia Islam yang “dirampok” dan dibawa para penjajah Barat ke Eropa.
Sejatinya, Masjid dan perpustakaan pada zaman kejayaan Islam tak bisa dipisahkan. Sebab, masjid juga memainkan peran yang penting lainnya, yakni sebagai perpustakaan. Kehadiran perpustakaan di dunia Islam juga berasal dari aktivitas keilmuan yang digelar di rumah Allah SWT.
Masyarakat di hampir seluruh dunia Islam, mulai dari Atlantik hingga ke Teluk Persia, menjadikan masjid sebagai tempat yang aman untuk menyimpan buku. Tak heran, jika koleksi buku yang dimiliki perpustakaan masjid begitu melipah. Di Allepo, Suriah, misalnya, perpustakaan masjid tertua bernama Sufiya mengoleksi buku hampir 10 ribu volume. Buku-buku itu merupakan pemberian dari penguasa Kota Aleppo yang termasyhur, Pangeran Sayf al-Dawla. Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid yang dipelopori pemimpin itu juga diikuti oleh para ilmuwan dan intelektual.
Masjid Abu Hanifah di Irak pun memiliki koleksi buku yang melimpah. Buku-buku yang tersimpan di perpustakaan masjid itu merupakan hibah atau hadiah dari koleksi pribadi. Dengan menyimpan bukunya di perpustakaan masjid, buku-buku itu akan dirawat dan dibaca oleh lebih banyak orang. Sehingga, pengetahuan yang terkandung dalam buku itu bisa tersebar lebih luas. Salah seorang tokoh yang menyumbangkan koleksinya ke Masjid Abu Hanifah adalah seorang dokter bernama Yahia Ibnu Jazla (w. 1099) dan penulis sejarah Al-Zamakhshari (w. 1143). Salah seorang ilmuwan yang ikut menyumbangkan buku yang ditulisnya adalah Abu Abdullah Muhammad al-Ajmawi. Ia menyumbangkan karya besarnya berjudul Al-Qawl Al-Mutabar kepada para siswa yang belajar di masjid itu. Ilmuwan legendaris, Ibnu Khaldun, juga mewakafkan bukunya yang berjudul Kitab Aal-Ibar ke perpustakaan masjid itu.
Buku yang berharga itu lalu dipinjamkan kepada orang tepercaya selama dua bulan, setelah itu dikembalikan lagi ke perpustakaan. Jadilah perpustakaan masjid menjadi tempat penyimpanan buku-buku yang langka dan tak ternilai harganya. Dengan koleksi buku yang melimpah, para pelajar, serta ilmuwan pun berbondong-bondong pergi ke masjid. Mereka datang ke masjid dengan dua tujuan. Untuk beribadah, sekaligus meningkatkan pengetahuan dengan membaca buku. Bahkan, para ilmuwan dan sarjana Muslim sampai menetap di masjid. Syahdan, dua ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka, al-Ghazali dan al-Baghdadi, sempat menetap beberapa periode di menara Masjid Umayyah di Damaskus.
Sedangkan, Ibnu Al-Haitham fisikawan penemu optik sempat tinggal di sebuah qubah Masjid al-Azhar Kairo – Mesir. Menjelang meninggal, para ulama dan ilmuwan itu mewakafkan koleksi buku mereka ke masjid. Masjid al-Aqsa di Yerusalem, pada era kejayaan Islam, juga memiliki empat perpustakaan. Tempat tersuci ketiga umat Islam itu mengoleksi buku dalam jumlah yang sangat banyak. Buku itu tersimpan di Madrasah Nahawiya dan Ashrafyia yang berada di sekitar masjid.
Contoh di atas sebagai gambaran sejauh mana kaum muslimin melalui negara Khilafah memberi perhatian yang sangat dalam penyediaan sarana pendidikan. Oleh karena itu hendaknya perpustakaan-perpustakaan Islam di masa sekarang dilengkapi dengan sarana-sarana yang lebih canggih guna mempermudah dan mempercepat pelayanan.
Dan lebih diharapkan lagi, hendaknya setiap perpustakaan dilengkapi dengan ruangan istirahat, tempat tinggal (asrama) bagi siapa saja yang hendak menetap sementara, serta ruangan khusus untuk makan (cafetaria) dan lain sebagainya; semua fasilitas tersebut disediakan secara cuma-cuma tanpa dipungut biaya se-peser pun dari para pelajar dan rakyat.

4. Observatorium
Selain madrasah, akademi dan perpustakaan, di dunia Islam juga terdapat lembaga pendidikan yang disebut observatorium, yaitu sarana penelitian ilmiah non formal, khususnya yang berkaitan dengan astronomi.
Pendirian sebuah observatorium yang terkenal berada di Maraghah pada tahun 1259 yang dipimpin oleh seorang yang jenius bernama Muhammad ibn Muhammad Ibn Ibn al-Hasan at-Tusi (1201-1274) yang lebih dikenal sebagai Nashir al-Din Thusi, sebuah gelar kehormatan yang berarti “Pembela Kebenaran”. Seringkali dikenal juga sebagai at-Thusi, ia hidup sezaman dengan beberapa tokok terkenal seperti Rumi dan Sa'di dari dalam Islam dan Albert the Great, Thomas Aquinas, dan Roger Bacon dari luar Islam. Pendirian observatorium tersebut merupakan kebangkitan kembalinya aktivitas ilmiah islami yang utama terjadi di Persia pada abad 13 setelah surutnya kegiatan ilmiah di kalangan umat Muslim karena Baghdad, pusat kegiatan ilmiah, dihancurkan oleh gerombolan orang Mongolia dibawah pimpinan Hulagu.
Kegiatan ilmiah di observatorium Maraghah menandai sebuah babak baru dalam ilmu astronomi Islam. Banyak pekerjaan yang berhubungan dengan ilmu astronomi dilakukan di observatorium tersebut seara mendalam sehingga mempengaruhi ilmu pengetahuan dalam bidang tata surya. Dalam peragaannya, Nashir al-Din Thusi, untuk pertama kalinya dalam sejarah astronomi, menggunakan sebuah teorema yang dibuatnya sendiri, yang 250 tahun kemudian ditemukan kembali dalam karya Copernicus.
Dibangunnya sebuah observatorium tersebut sangat penting keberadaannya dalam sejarah ilmu pengetahuan. Selain tidak hanya pengabdian Nashir al-Din Thusi dalam kemajuan ilmu astronomi dan matematika tetapi juga untuk tiga alasan penting lainnya. Pertama, ini merupakan observatorium astronomi pertama yang pembiayaannya bukan dari sumbangan sehingga membuka kesempatan untuk pembiayaan observatorium di masa yang akan datang. Kedua, Nashir al-Din Thusi dapat membuat sebuah pertemuan para ilmuwan di observatorium Maraghah dan membuat program serta jadwal khusus untuk pengajaran ilmu Matematika, Astronomi, dan Filosofi. Ketiga, terdapat sebuah perpustakaan megah di areal observatorium yang menyimpan ilmu-ilmu pengetahuan berharga yang dijaga ketat oleh tentara Mongol dan Tartar pada saat serbuan mereka ke Irak, Baghdad, Persia, Syria dan sebagainya. Itulah tiga alasan Nashir al-Din Thusi dalam tuntutan utamanya untuk mendesak Hulagu Khan membangun sebuah observatorium yang megah di Maraghah. Diduga juga bahwa Nashir al-Din Thusi pernah menjadi penasehat ilmiah Hulagu dan pemimpin dalam amalan dan kegiatan keagamaan. Mungkin juga merupakan salah satu anggota dalam ekspedisi mendampingi Hulagu dalam penaklukan Baghdad pada tahun 1258.
Salah satu hasil penelitian yang dilakukan di observatorium Maraghah adalah Ilkhani Tables, sebuah buku pegangan tentang ilmu astronomi, yang kemudian dilengkapi pada tahun 1272 setelah kematian Hulagu. Nashir al-Din Thusi tetap menjaga pengaruh kedudukannya di masa kepemimpinan penerus Hulagu, yaitu Abaqa. Kira-kira tahun 1271, Nashir al-Din Thusi berhasil mengobati luka Abaqa ketika ia ditanduk oleh seekor sapi liar. Pada tahun 1274 ketika berada di Baghdad, Nashir al-Din Thusi jatuh sakit. Ia meninggal satu bulan kemudian dan dimakamkan di dekat makam Syiah imam ketujuh, Musa al-Kazim, dekat Baghdad.
Dari observatorium di bawah kepemimpinan Nashir al-Din Thusi, lahir sarjana-sarjana profesional kira-kira 20 ilmuwan terkenal yang berasal dari berbagai belahan dunia Islam tersebar ke Cina di Timur dan Spanyol di Barat. Di antara mereka termasuk Quth al-Din al-Shirazi (w. 1311), Mu'ayyid al-Din al-Urdi (w. 1265), Muhyi al-Din dan seorang matematikawan asal Cina, Fao Mun-ji.
Ada pun karya terbesar dan terpopuler Nashir al-Din Thusi selain Ilkhani Tables (az-Zayj al-Ilkhani), antara lain, Akhlaq Nashiri (Etika Nasiri), Asas al-Iqtibas (dalam hal logika) dan Risalah Mu'iniyyah (dalam hal Astronomi), Akhlaq Muhtashim (the Muhtashim Etics), The Nasirean Ethics, Tanksukh-nama (dalam hal Mineralogi), Tajrid (risalah Teologi), Tazkira fi'ilm al-hai'a (risalah Astronomi), Treatise on the Quadrilateral (bidang trigonometri), ar-Risalah as-Safiya 'an as-Sakk fil Khutut al-Mutawaziyya (Discussion Designed to Remove All Doubts Concerning Parallel Lines), Kitab Shikl al-Qita (risalah tentang bidang segiempat).
Sekarang ini, kontribusi Nashir al-Din Thusi dalam bidang Matematika dan Astronomi menjadi semakin bertambah. Tetapi, ini masih jauh dari gambaran keseluruhan, hanya sebagian karyanya yang akan dipelajari. Lainnya yang terlupakan dalam bentuk naskah di perpustakaan-perpustakaan di beberapa bagian dunia, tidak menyebutkan banyaknya naskah yang hilang pada saat dilakukan pencarian kembali. Jelasnya, peranan observatorium yang digagas Nashir al-Din Thusi adalah merupakan lembaga pendidikan yang telah memberikan kontribusi besar dan peranan penting dalam peradaban ilmu pengetahuan di dunia Islam.

5. Rumah Sakit
Rumah sakit (Bimarisman) adalah lembaga pendidikan non formal yang telah memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan umum khususnya kedokteran. Dalam sejarah Islam, Harun ar-Rasyid, khalifah Bani Abbas telah mendirikan rumah sakit besar di Baghdad dengan mengambil model dari yang telah ada di Yundishapur, dengan Bakhtishu dari keluarga Nestorian yang terkenal, diangkat sebagai dokter istana dan menjadi direktur rumah sakit pertama di Baghdad oleh Harun ar-Rasyid. Abu Bakr Zakariyya ar-Razi (858-925), pengarang buku al-Hawi, disebut juga telah pernah diangkat sebagai salah satu direktur rumah sakit tesebut. Kehadiran rumah sakit ini tentu saja penting karena implikasi praktisnya pada kesehatan sang penguasa.
Rumah sakit perdana milik bangsa Muslim barulah berdiri di Damaskus pada tahun 706 oleh Sultan Al-Wahid, penguasa kekhalifahan Ummayah. Di rumah sakit ini dirawat para pasien yang terkena lepra dan kebutaan. Para penderita kronis seperti lepra diisolasikan pada bangsal khusus. Rumah sakit ini kemudian dinamai al-Nuri yang diambil dari nama raja Nur Al-Din Zanji yang hidup pada masa Perang Salib. Tempat ini mempelopori rumah sakit Islam yang disertai sekolah kedokteran. Ilmuwan medis bangsa Islam seperti Ibn Al-Nafis (1210-1288) lulus dari tempat ini. Karya terbesarnya dalam dunia kedokteran adalah melalui bukunya al-Syamil fi at-Thibb, yang hingga awal abad 20 masih dianggap sebagai sebuah ensiklopedia kedokteran.
Rumah sakit Islam telah menjadi institusi yang sangat terdepan di abad pertengahan. Inilah yang selalu diagungkan sebagai warisan peradaban Islam. Di Kairo, pada tahun 1285 M, Sultan al-Mansur mendirikan rumah sakit terbesar yang pernah ada. Inisiatif Sultan al-Mansur mendirikan rumah sakit dilandasi pengalamannya saat masih jadi seorang pangeran, ia jatuh sakit dalam sebuah ekspedisi ke Syria selama Perang Salib. Dirinya begitu takjub dengan profil rumah sakit al-Nuri di Damaskus. Ia sempat dirawat disana hingga sembuh. Di hatinya, ia berjanji mendirikan rumah sakit seperti ini secepatnya jika ia menerima tahta kerajaan.
Jumlah pasien yang dilayani rumah sakit milik al-Mansur ini mencapai 4.000 orang setiap harinya. Perawatan inap bebas biaya dan jika pasien selesai rawat inap diberikan bekal asupan serta uang kompensasi penghidupan yang hilang selama dirawat inap. Rumah sakit ini tetap menerima pasien dalam kurun waktu 7 abad lamanya. Saat ini rumah sakit al-Mansur dipakai untuk optamologi dan dinamai rumah sakit Mustashfa Qalawun.
Rumah sakit besar lainnya terekam dalam sejarah peradaban Islam adalah rumah sakit milik Sultan Ahmad ibn Tulun. Rumah sakit ini merupakan yang pertama di Kairo, mendahului rumah sakit al-Mansuri. Didirikan pada tahun 872-874, rumah sakit ini telah memiliki manajemen perawatan yang modern dan spesifik, bahkan lebih maju di masanya. Tempat ini memiliki dua rumah pemandian, masing-masing untuk pria dan wanita. Rumah sakit ini memiliki akademi kedokteran dan perpustakaan yang kaya literatur medis. Pasien yang hendak masuk rumah sakit ini harus melepas pakaian berpergian mereka untuk disimpan di tempat khusus, termasuk barang berharganya, dan dijaga oleh petugas rumah sakit. Mereka diberikan pakaian khusus untuk pasien dan dibawa menuju tempat tidurnya.
Sultan Ahmad ibn Tulun membangun rumah obat di samping masjid Tulun yang kompleks dengan rumah sakit Tulun. Sultan yang juga pendiri dinasti Tuluniyah ini telah merintis sebuah rumah sakit pertama yang didanai dari waqaf. Reputasinya sangat terkenal dan baru bisa disaingi oleh rumah sakit 'Adudi di Baghdad yang berdiri pada tahun 987. Terobosannya menopang operasional rumah sakit lewat waqaf , dicontoh para pemimpin khalifah Islam lainnya.
Rumah sakit Islam lainnya yang dikelola dengan dana waqaf adalah rumah sakit Badr Ghulam, komandan militer dan pemerintahan dari khalifah Mu’tadid (892-902) di Baghdad; rumah sakit Baghkami di Baghdad yang didirikan Amir Abu Hasan Bghkam at-Turki; rumah sakit Ikhshidid di Kairo yang dibangun Kafur al-Ikhsid di tahun 957; dan rumah sakit Mu’izzuddawla ibn Buwayh di Baghdad pada tahun 967.
Rumah sakit lainnya yang terkenal adalah rumah sakit Harun ar-Rashid di Baghdad. Pendirian rumah sakit ini dipimpin oleh Jibril ibn Bukht-Yishu, yang juga menjadi tabib kepala di istana, dan tabib Yuhanna ibn Masawayh. Keduanya berasal dari Jundishapur dan menguasai ilmu kedokteran Yunani. Uniknya mereka berasal dari agama Nasrani. Namun, invasi bangsa Mongol menghancurkan rumah sakit ini, berikut koleksi pustakanya.
Di Yerusalem juga memiliki rumah sakit Al-Salahani yang didirikan pada tahun 1055 oleh Pasukan Salib dengan nama rumah sakit Saint. Namun namanya dirubah menjadi rumah sakit Al-Salahani Hospital di tahun 1187 setelah bangsa Muslim berkuasa. Salahudin sempat memperluas rumah sakit ini dan masih berfungsi melayani pasien sampai tahun 1458 setelah terkena gempa bumi.
Pada abad 11, terdapat pula klinik berjalan, yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk mengobati para pasien yang tak bisa datang ataupun terlalu jauh ke rumah sakit. Para dokter rumah sakit Islam pun haruslah memiliki lisensi dan lulus praktek medis. Di sinilah dididik para mahasiswa kedokteran. Tempat ini memiliki asrama bagi para pelajar dan staf rumah sakit, serta tempat penyimpanan obat-obatan gratis bagi para pasien.
Setiap rumah sakit Islam memiliki ruang pertemuan dan perpustakaan mahal berisikan kitab-kitab terbaru. Rumah sakit Tulun di Kairo memiliki 100.000 koleksi buku-buku, pustaka Universitas Mustanshiriyyah di Baghdad dengan 80.000 volume, perpustakaan Kordoba dengan koleksi 600.000 volume; bahkan di Kairo dan Tripoli bisa mencapai masing-masing 2 jutaan koleksi buku.

6. Zawiyyah
Lembaga pendidikan terakhir yang patut mendapat perhatian karena sumbangannya terhadap perkembangan ilmu, khususnya ilmu-ilmu esoterik adalah Zawiyyah atau Khaniqah dalam bahasa Persianya, yaitu pusat-pusat latihan sufi (sufi centers). Sufi centers seperti ini menjadi penting terutama sebagai pusat-pusat pendidikan formal setelah invasi Mongol, ketika mereka dipaksa untuk memenuhi fungsi dan peran madrasah yang dihancurkan oleh serangan dahsyat bangsa Mongol, seperti juga fungsi mereka sendiri untuk melatih secara spiritual murid-murid mereka. Dengan demikian Zawiyyah penting sebagai lembaga pendidikan karena fungsi gandanya sebagai madrasah dan pusat latihan spiritual, dimana bukan hanya ilmu-ilmu esoterik yang menjadi spesialisasi mereka, tetapi juga ilmu-ilmu eksoterik.

C. Kesimpulan
Sungguh luar biasa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam, membuat saya berkesimpulan, bahwa:
1. Sejarah telah mencatat, bahwa pada abad pertengahan ke-8 dan bagian awal abad 12, kebangkitan intelektual orang-orang arab menyebar ke seluruh dunia bahkan lebih cepat dan dramatis dari pada yang dilakukan orang-orang Yunani ribuan tahun sebelumnya.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam didorong oleh perhatian penguasa yang cinta ilmu dan dan orang-orang kaya yang selalu memberikan fasilitas yang sangat memadai. Tidak hanya itu, semangat dan motivasi para ilmuwan untuk melakukan kegiatan tradisi ilmiah pun diimbangi dengan penghargaan yang luar biasa.
3. Mundurnya kegiatan tradisi ilmiah dalam Islam sekarang, selain tidak ada perhatian dari pemerintah, juga turunnya semangat dan minat untuk mencari ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah itu sendiri.
4. Perlunya kembali melakukan kegiatan tradisi ilmiah Islam bagi para pelajar dan ilmuwan, khususnya di Indonesia, dengan melakukan banyak terjemahan hasil karya ilmiah dan menemukan teori-teori ilmah baru atau kritikan ilmiah yang pernah dilakukan bangsa Eropa yang menyebabkan adanya kebangkitan intelektual di dunia barat.
5. Terakhir, saya yakin bahwa ilmuwan-ilmuwan muslim yang pernah ada dan karya-karya ilmiah yang terkenal seperti al-Khawarizmi (matematika), Ibnu Sina (kedokteran), al-Kindi (astronomi), at-Thusi (astronomi), Ibnu Khaldun (sejarah), Ibnu Haytham (kalam), al-Biruni (kimia dan fisika), Umar Khayyam (astronomi), al-Farabi (filsafat), Ibnu Arabi (filsafat), Ibnu an-Nafis (kedokteran), al-Ghazali (filsafat), Ibnu Rusydi (filsafat dan kedokteran), dan ilmuwan lainnya yang sepopuler mereka tidak akan pernah tenggelam di telan waktu, justru mereka akan semakin terkenal secara luar biasa di masa yang sekarang dan yang akan datang sepanjang masa.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Baghdadi, Abdurrahman, Sistem Pendidikan di masa Khilafah Islam, (Surabaya: al-Izzah, 1996)

Al-Ibrasyi, Muhammad Athiah, At-Tarbiyah al-Islamiyah, (Mesir: Darul Qaumiah, 1964)
Amstrong, Karen, Islam: A Short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002)
Azra, Azyumardi, Madrasah dan Tantangan Globalisasi: Persfektif Historis-Sosiologis Pendidikan Islam, dalam Roundtabel Discussion : Masa Depan Madrasah, (Ciputat: INCIS, 2004)
Badawi, Abd al-Majid Abu al-Futuh, al-Tarikh as-Siyasi wa al-Fikri, (al-Mansur: Matabi al-Wafa, 1988)
Hassan, Hassan Muhammad dan Nadiyah Jamaluddin, Madaris at-Tarbiyah fi al-Hadharah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1988)
Iqbal, Muhammad, Seri Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Ciptamedia)
Syarif, Ahmad Ibrahim, Daulat al-Rasul Fi al-Madinat, (Quwait: Dar al-Bayan, 1972)
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Jakarta: Risalah Gusti, 1996)
Nashabe, Hisham, Muslim Educational Institution, (Beirut: Librarie Du Liban, 1989)
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Muhamed, Mohaini, Great Muslim Mathematicians (Matematikawan Muslim Terkemuka), diterjemah: Thamir Abdul Hafedh al-Hamdany, (Jakarta: Salemba Teknika, 2001)
Muhtar, Maksum, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001)
Kertanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006)
www.republika.co.id, Al-Ma’mun, khalifah penyokong ilmu pengetahuan dan menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat diposting 23 Juli 2008
www.republika.co.id, Perpustakaan Lumbung Ilmu di Era Kekhalifahan, diposting 9 September 2008, akses 8 Januari 2009
http://azzikra.com, Rumah Sakit Warisan Humanis Peradaban Islam, diposting 26 Juni 2007, akses 8 Januari 2009
http://telagaalkautsar.multiply.com/journal, akses 8 Januari 2009